Pengumuman penghentian program utang kopi di warung Cak Sueb, akan mengancam hajat hidup orang banyak. Terutama bagi Mahmud Wicaksono, sarjana tukang cukur itu. Hampir setiap hari sejak Cak Sueb membuka warung kopi, Mahmud Wicaksono hanya beberapa kali membeli kopi secara cash. Hari pertama warung dibuka, Mahmud Wicaksono mendapat kopi gratisan sebagai launching warung gedeg doyong pinggir sungai itu
Oleh: Abdur Rozaq, S.Pd.I
Dengan berat hati, Cak Sueb menempelkan kardus mie instant bertuliskan “sepurane, bon-bonan kopi prei disik” di dekat blek kerupuk. Tentu saja, pengumuman itu membuat hati para pelanggan perpukul. Ini bukan hanya soal permohonan maaf ngutangi kopi, namun secara psikologis, antropologis bahkan geopolitik, bisa mengganggu stabilitas dunia. Analisanya begini: kalau Mahmud Wicaksono seharian hanya mendapat pelanggan tiga orang, tentu saja ia pening karena stabilitas dapurnya terganggu. Kemungkinan besar, istri Mahmud Wicaksono akan ngomel entek ngamek kurang golek. Mahmud Wicaksono terpancing, lalu terjadilah KDRT. Bisa jadi, istrinya yang sudah tidak betah hidup melarat, akan menggugat cerai. Jika sudah cerai, Mahmud Wicaksono bisa jadi akan depresi. Orang depresi kan bisa macam-macam dampaknya? Bisa jadi memilih cari pesugihan, install aplikasi kencan, atau membenci pemerintah dan menjadi provokator. Sebagai anggota BRICS, jika negara Cak Manap tidak stabil, dunia bisa hilang keseimbangan.
Pengumuman penghentian program utang kopi di warung Cak Sueb, akan mengancam hajat hidup orang banyak. Terutama bagi Mahmud Wicaksono, sarjana tukang cukur itu. Hampir setiap hari sejak Cak Sueb membuka warung kopi, Mahmud Wicaksono hanya beberapa kali membeli kopi secara cash. Hari pertama warung dibuka, Mahmud Wicaksono mendapat kopi gratisan sebagai launching warung gedeg doyong pinggir sungai itu. Setelah itu hingga belasan tahu kemudian, Mahmud Wicaksono selalu ditraktir kopi kawan-kawannya, atau ngutang. Jika sekarang Cak Sueb menghentikan program utangan kopi, bagaimana cara Mahmud Wicaksono menetralisir pahitnya hidup?
Belasan tahun, Cak Sueb selalu berdebat sengit dengan Yu Markonah setiap kali hendak menaikkan harga segelas kopi. Sebagai orang melarat, Cak Sueb sangat tak tega menaikkan harga kopi. Biarlah para pejabat di atas sana dengan seenaknya menaikkan harga gula, kopi sachetan dan gas LPG. Tapi Cak Sueb, berpikir dua hingga lima kali jika harus menaikkan harga segelas kopi.
Menurut Cak Sueb, kopi bukan sekedar minuman. Kopi adalah doping, anti depresan, cairan inspirasi, obat kuat menghadapi kenyataan, bahkan minuman sufi. Sudah banyak orang-orang melarat yang menguatkan hatinya seraya minum kopi di warung Cak Sueb. Orang kalah judol, orang terjerat pinjol, perjaka terjerat janda, suami pisah ranjang, kurir ditipu orderan fiktif, ojol disemprot pelanggan, guru honorer dikerjai pemilik yayasan pendidikan, bendahara dana BOS dipaksa bikin SPJ palsu, buronan penggelap Dana Desa hingga caleg gagal. Jika orang-orang itu menyembuhkan diri di sana sesekali, Mahmud Wicaksono hampir seluruh hidupnya ia habiskan di sana. Lantas, tegakah Cak Sueb menaikkan harga segelas kopi kepada orang-orang terluka dan sakit itu?
Namun tragis, selain terus disemprot sang istri karena jumlah setoran terus menurun, harga kopi sachet, gula dan gas LPG naik secara bersamaan. Istrinya telah berkali-kali menerbitkan surat perintah menaikkan harga segelas kopi, tapi Cak Sueb berkali-kali mencari alibi untuk memveto. Padahal, dengan kenaikan harga gula, kopi sachet dan gas LPG, Cak Sueb lebih banyak soyo daripada bati dari berjualan kopi. Seperti kata pepatah, untuk berguna bagi kemanusiaan, khususnya bagi para pengutang kopi, Cak Sueb harus rela tirakat, prei mendapat jatah dari sang istri. Padahal, Cak Sueb bukan siapa-siapa. Fotonya tak pernah terpampang di baliho-baliho menjelang pemilu, apalagi di pajang di kantor-kantor mengapit lambang negara.
Maka, setelah perang dingin sampai perang hangat hingga hampir perang terbuka, Cak Sueb mengajukan gencatan senjata. Kalau diboikot istrinya dengan tak ada nasi dan kopi sih tak masalah, toh Cak Sueb bisa makan di warung atau di lesehan. Kalau tidak disopo sih, Cak Sueb malah kegirangan karena istrinya akan sungkan menarik setoran. Tapi kalau sudah diboikot di kamar tidur, Cak Sueb benar-benar kelimpungan. Demikianlah kelemahan utama para anak Adam. Konon, sogokan alias gratifikasi paling manjur di dunia mafia orang-orang berdasi di ibukota sana, ya politik kamar tidur ini. Maka, karena tak ada pilihan lain, dengan berat hati Cak Sueb menempelkan memo dari sobekan kardus mie instant bahwa program utangan kopi dibekukan hingga entah sampai kapan.
Di dunia bawah tanah yang dihuni oleh orang-orang melarat seperti Mahmud Wicaksono, perkara gas LPG naik 2000 rupiah bisa berdampak sangat mengerikan. Sebab kenaikan tarif segelas kopi dari empat ribu menjadi lima ribu rupiah, bisa menyebabkan sebuah tragedi. Dulu ketika harga segelas kopi masih tiga rupiah, uang lima ribu masih bisa digunakan membeli minuman sorga kopi hitam dan sebatang rokok eceran. Atau, kembalian dua ribu rupiah masih bisa digunakan sebagai uang jajan anak-anak. Pemerintah mungkin tak pernah tahu bahwa Mahmud Wicaksono pernah benar-benar mengangis perkara uang dua ribu rupiah. Ia yang begitu sakau ingin minum kopi, terpaksa harus menggelapkan uang receh di dompet istrinya. Sialnya, anak Mahmud Wicaksono kemudian merengak meminta dibelikan jajanan, dan istrinya shock karena uang di dompetnya raib. Anak mereka menangis dan Mahmud Wicaksono menyesali keegoisannya yang tak bisa lepas dari kecanduan kopi.
Wak Takrip, Cak Sukron dan beberapa pelanggan warung Cak Sueb lainnya, perlahan menarik diri dari warung. Bukan membenci keputusan Cak Sueb, namun secara bertahap berjuang melepaskan diri dari kecanduan minum kopi. Sebab jika tidak, mereka akan berkali-kali sakau karena Cak Sueb sudah tak mampu memberi subsidi utangan kopi.
*Penulis adalah kolumnis, cerpenis, penulis naskah film dan buku. Ia juga seorang Youtuber dan ahli terapi refleksi
**Cerita hanya fiksi belaka, kesamaan nama, tempat dan peristiwa hanya kebetulan semata