orang miskin sebaiknya sehat-sehat selalu. Meski gizi kurang terpenuhi, meski sering sakit hati mendengar berita koruptor dihukum ringan, sebaiknya mereka sehat-sehat saja. Sebab jika dirawat di rumah sakit yang tidak dikelola oleh swasta, akan mengalami sakit dua kali. Sakit secara fisik dan sakit hati. Padahal ini sudah tahun 2025.
Oleh Abdur Rozaq
Di saat hidup sedang berat-beratnya, dan memang begitulah selalu, Mahmud Wicaksono diuji imannya. Anaknya yang paling kecil tiba-tiba demam dan kembali mengalami kejang saat dini hari. Dengan sepeda motor yang bensinnya hampir habis, Mahmud Wicaksono membawa anaknya itu ke rumah sakit. Di tengah kepanikannya, salah satu perawat mengatakan jika penyakit kejang, sudah tidak dibiayai oleh BPJS.
Perkataan perawat itu memang sudah benar secara protokoler penanganan pasien. Mungkin, beliau khawatir Mahmud Wicaksono akan semakin shock jika hal itu tidak diberitahukan di awal-awal prosedur perawatan. Namun bagi sarjana yang terlalu lugu seperti Mahmud Wicaksono, penjelasan perawat itu bisa membuatnya stroke mendadak. Sudah anaknya kejang belum sadar, malah mendapat tekanan batin sedahsyat itu. Bukannya Mahmud Wicaksono lebay, namun demikianlah memang kerentanan psikologis orang-orang kelas bawah secara ekonomi.
Maka di mata Mahmud Wicaksono, dua orang perawat yang sedang memasang semacam jarum infus ke pergelangan tangan anak balitanya, nampak memperagakan gerakan security saat memasang borgol ke tangan pencuri celana dalam di komplek perumahan elit. Di mata Mahmud Wicaksono yang sangat mengantuk sekaligus berkaca-kaca, tangan anaknya dipelintir hingga memerah. Setelah jarum infus terpasang, ternyata hanya digunakan untuk memasukkan obat injeksi, bukan infus. Dalam hati Mahmud Wicaksono berpikir, kenapa tidak langsung disuntik saja jika tidak diinfus? Tapi meski sarjana dan mantan aktivis kampus, sarjana tukang cukur itu kapok untuk mengajukan pendapat. Pertama, ia tidak membawa uang cukup ke rumah sakit, kedua, saat anaknya dirawat dengan biaya BPJS dulu, ia dipleroki oleh perawat. Padahal konon, dana BPJS itu diambilkan dari pajak, dan Mahmud Wicaksono juga dikenai pajak bahkan saat membeli sebatang rokok eceran.
Di negara Mahmud Wicaksono yang konon akan menjadi mercusuar dunia pada tahun 2045 ini, orang miskin sebaiknya sehat-sehat selalu. Meski gizi kurang terpenuhi, meski sering sakit hati mendengar berita koruptor dihukum ringan, sebaiknya mereka sehat-sehat saja. Sebab jika dirawat di rumah sakit yang tidak dikelola oleh swasta, akan mengalami sakit dua kali. Sakit secara fisik dan sakit hati. Padahal ini sudah tahun 2025.
Setelah anaknya sadar, Mahmud Wicaksono berharap anaknya lekas diperbolehkan pulang. Di lain sisi anaknya harus segera sembuh, di lain sisi ia tak punya biaya. Pening dan dendam oleh berbagai pikiran, Mahmud Wicaksono kemudian mencari toko untuk mencari rokok eceran. Barangkali, nikotin akan memberikan sedikit slimuran sekaligus penyakit padanya. Biarlah ia bengek oleh asap rokok, asal hatinya tidak buruk sangka terhadap pelayan rakyat yang mungkin merasa sebagai priyayi itu. Ini gara-gara penjajah Belanda yang mendoktrin jika inlander dan orang-orang tak berpunya seperti dirinya harus selalu pasrah.
Setelah mendapatkan rokok dan menyulutnya di tempat parkir rumah sakit antah berantah itu, seraya mengganti kopi dengan ludahnya yang pahit, Mahmud Wicaksono merenung, eh meratap. Mengapa belum ada perubahan signifikan di negara tercintanya ini. Konon di luar negeri, pemerintah dan para pegawainya menempatkan rakyat sebagai raja karena telah menggaji mereka melalui pajak. Namun di sini, kenapa primordialisme atau apalah itu, masih saja berlaku. Padahal sekarang sudah tahun 2025.
Di tengah renungan eh, ratapannya, Mahmud Wicaksono dikagetkan oleh suara orang engkel-engkelan di pintu masuk parkir sepeda motor. Dari perdebatan saur manuk itu, Mahmud Wicaksono menangkap jika pemilik sepeda motor memprotes tarif parkir yang sulit dinalar. Menurut pemilik motor, ia parkir selama dua hari di area parkir rumah sakit ini. Namun betapa terkejutnya ketika ia harus membayar parkir sebesar 50.000 rupiah.
Si pemilik motor berkali-kali menegaskan, jika ia tidak memarkir tank Merkava, kereta api apalagi kapal induk. Ia hanya memarkir motor, itupun kreditan. Namun, lawan bicaranya yang entah siapa, menjelaskan jika memang sebesar itulah tarif parkir yang sudah ditetapkan entah oleh siapa. Katanya sudah dilakukan sosialisasi, via media sosial.
Menyimak perdebatan yang berujung saling menggertak untuk memviralkan itu, rasa pening di kepala Mahmud Wicaksono sedikit mendapat jeda. Bukan berkurang, tapi hanya dijeda karena ia ikut terbawa suasana. Bagaimana jika hal itu juga terjadi pada dirinya. Namun beberapa saat kemudian, Mahmud Wicaksono merinding mambayangkan berapa tarif yang akan ia bayar nanti. Ia datang ke rumah sakit ini hanya membawa uang beberapa puluh ribu saja, hasilnya memangkas rambut. Bagaimana jika itu terjadi padanya juga?
Untungnya, dari perdebatan itu Mahmud Wicaksono mendapat informasi jika penunggu pasien, apalagi yang nampak tidak meyakinkan seperti dirinya, tetap dikenakan tarif parkir biasa.
Mahmud Wicaksono masih bisa bersyukur, namun shock atas penjelasan perawat di UGD tadi masih belum juga membuat hatinya tentram. Sebenarnya apa yang terjadi, kenapa sekarang hanya penyakit-penyakit parah yang dibiayai BPJS? Apakah kejang pada balita yang bisa mengancam nyawa bukan termasuk penyakit parah?
Cerita hanya hayalan semata, jika ada kesamaan tempat dan peristiwa hanya kebetulan