Seharusnya Aku Benar, Tapi Mengapa Aku Merasa Bersalah?

36

Oleh: Nara*

AKU masih ingat pertemuan pertama kami di sebuah kafe kecil di sudut kota. Meja nomor tujuh, tempat favoritku. Saat itu, aku hanya ingin menikmati secangkir kopi hitam di sore yang gerimis. Dia duduk di hadapanku dengan senyum ramah, meminta izin untuk berbagi meja karena kafe penuh. Aku mengangguk tanpa banyak pikir.

Namanya Arya. Pria dengan tatapan hangat dan suara yang mampu membuat siapa saja merasa nyaman. Obrolan ringan tentang cuaca berlanjut menjadi diskusi panjang tentang hidup, mimpi, dan rasa lelah yang seringkali tak terlihat. Dari percakapan itu, aku tahu ia sudah menikah. Tapi, entah mengapa, aku tak ingin berhenti berbicara dengannya.

Waktu berjalan, dan pertemuan demi pertemuan terasa semakin dekat. Awalnya tak ada niat apapun. Namun, perhatian kecil darinya—seperti bertanya apakah aku sudah makan atau memastikan aku sampai rumah dengan selamat—membuatku merasa istimewa. Perasaan itu tumbuh tanpa kendali, seperti hujan deras yang tak bisa dihentikan.

“Kenapa kita terus bertemu seperti ini?” tanyaku suatu kali.

Arya terdiam sejenak, memandang secangkir kopinya. “Karena kita saling membutuhkan, dan aku mencintaimu” jawabnya jujur.

Hatiku bergetar. Aku tahu ini salah, tapi aku tak sanggup pergi. Cinta memang tak pernah memilih tempat yang benar untuk tumbuh.


Hari itu, aku duduk di bangku taman, menunggu Arya. Angin sore menerpa wajahku, membawa aroma dedaunan basah. Jantungku berdegup kencang saat melihat sosoknya berjalan ke arahku. Wajahnya tampak lelah.

“Aku ingin kita berhenti,” kataku tanpa basa-basi. Suaraku bergetar, tapi aku berusaha tegar.

“Apa maksudmu, Nara?” tanyanya, matanya penuh kebingungan.

“Aku lelah menjadi yang tersembunyi. Aku lelah mencintaimu dalam gelap,” ucapku sambil menahan air mata. “Kita tak seharusnya begini, Arya.”

Dia menghela napas panjang, seolah-olah semua beban dunia berada di pundaknya. “Aku tahu. Tapi aku mencintaimu Nara.”

“Tapi kau punya istri. Dan aku tak ingin menjadi alasan retaknya rumah tanggamu,” tambahku.

“Kita harus berhenti sekarang sebelum semuanya terlambat.”

Dia menunduk. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya. Hening. Tapi aku tahu, itulah jawaban yang ia setujui.

Aku hanya mampu bersujud dan mengeluarkan air mata, merasa apakah pilihanku sudah benar?


“Tuhan, aku sudah lelah, izinkan kali ini aku memilih jalan yang kupilih. Jangan kau buat aku harus menerima kenyataan kembali karena ku sudah tidak sanggup,” ucapku sambil meneteskan air mata

Waktu berlalu. Tak ada lagi pesan dari Arya, tak ada lagi obrolan ringan di kafe. Aku berusaha melupakannya, meski tak semudah yang kubayangkan. Cinta yang sempat tumbuh tak serta-merta layu hanya karena aku ingin. Tapi aku bertekad untuk memulai hidup baru.

Lalu, aku bertemu Reza. Pria sederhana yang selalu membuatku tertawa. Ia tak memiliki tatapan setenang Arya atau suara sehangat itu, tapi ia hadir sepenuhnya di sisiku. Tak ada yang ia sembunyikan, tak ada bagian dari dirinya yang tak bisa kugapai.

Reza melamarku di tepi pantai. Di tengah debur ombak, ia berkata, “Aku tak bisa menjanjikan kebahagiaan setiap hari, tapi aku berjanji akan selalu mencoba membuatmu tersenyum.”

Kalimat itu sederhana, tapi hatiku tenang. Untuk pertama kalinya, aku merasa berada di tempat yang benar. Aku menerima lamarannya dengan senyum lebar.


Hari pernikahanku tiba. Aku berdiri di depan cermin dengan gaun putih yang memeluk tubuhku sempurna. Aku melihat diriku sendiri, mencoba meyakinkan bahwa aku telah membuat pilihan yang benar. Tapi entah kenapa, bayangan Arya melintas di pikiranku.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.