Orang-orang kecil seperti mereka, memang jarang melihat kalender karena tak punya gaji bulanan. Mereka hanya melingkari kalender untuk menandai kapan harus buwuh, atau membayar angsuran KUR. Semakin banyak lingkaran pada angka-angka di kalender, semakin akrablah mereka dengan cicilan.
Oleh: Abdur Rozaq
“Mahmud Wicaksono kumat lagi,” kata orang-orang di warung Cak Sueb. Semua orang rasan-rasan, “mau bikin ulah apa lagi tukang cukur itu?” Gumam mereka. Tapi tak ada satu pun yang berani bertanya kepada Mahmud Wicaksono. Kebiasaan ratusan tahun lalu, masih saja dilestarikan; maiduh tanpa tabayyun. Berkomentar tanpa konfirmasi. Bahkan di dunia maya, orang langsung menghujat judul berita atau konten, tanpa membaca isi atau menonton videonya. Itu bukan hanya kesalahan para netizen, tapi juga kesalahan para penulis berita atau konten kreator yang biasa bikin judul provokatif demi viral. Demi sesuap nasi, demi uang tambahan agar bisa nyawer purel, atau top up saldo judi elektrik.
Mahmud Wicaksono mengibarkan bendera merah putih di depan lapak cukur rambutnya yang hampir roboh. Sang saka berkibar ditiup angin pagi, diiringi lagu-lagu kebangsaan yang mengalun dari dalam lapaknya. “Ada hari besar apa kok Cak Mahmud mengibarkan bendera?” Gumam Cak Sueb. “Sekarang tanggal 10 Nopember, cak,” jawab Gus Karimun singkat. Cak Sueb dan para peminum kopi belum juga paham jika hari ini Hari Pahlawan. Makanya, mereka tetap celingukan. Orang-orang kecil seperti mereka, memang jarang melihat kalender karena tak punya gaji bulanan. Mereka hanya melingkari kalender untuk menandai kapan harus buwuh, atau membayar angsuran KUR. Semakin banyak lingkaran pada angka-angka di kalender, semakin akrablah mereka dengan cicilan.
“Sekarang tanggal 10 Nopember, Hari Pahlawan,” jelas Gus Karimun akhirnya. Semua orang nampak biasa saja. Tak ada yang bereaksi heboh seperti ada kabar acara dangdutan. Tak ada yang heboh seperti saat seseorang menang togel atau judi elektrik. Sebenarnya Gus Karimun geram, tapi tokoh panutan harus bisa memanajemen emosinya. Akhirnya ya terpaksa, Gus Karimun kembali mendongeng. Untungnya, Gus Karimun punya ajian pembungkem, sehingga kalau dia ngomong, orang akan diam menyimak.
“Sekarang Hari Pahlawan, makanya Cak Mahmud Wicaksono mengibarkan bendera merah putih,” ujar Gus Karimun memulai dongengnya. “Beberapa puluh tahun lalu, pada tanggal ini, para kiai, santri dan pemuda bejibaku melawan pasukan sekutu di Surabaya. Mereka bertempur seperti singa terluka karena kemerdekaan bangsa Indonesia akan dirampas oleh pasukan sekutu.”
“Coba bayangkan, pasukan Inggris yang menang dalam perang dunia kedua, dijadikan bulan-bulan oleh para santri dan pemuda kita. Jenderal AWS Mallaby yang katanya sakti mandraguna, dihabisi oleh salah satu santri KH. Hasyim Asy’ari. Konon, ditusuk lehernya pakai jari. Jenderal kebanggaan Inggris, modar oleh jurus pencak silat seorang santri. Apa tidak ngeri?”
“Andai Mbah Hasyim Asyari dan para ulama tidak mencetuskan Resolusi Jihad, mungkin kemerdekaan kita batal. Sebab saat tentara Jepang mulai diusir oleh para pejuang, sebenarnya masih banyak orang Eropa yang beranak pinak di sini. Pasukan Belanda juga masih banyak, londo ireng juga masih banyak. Lalu masuklah Inggris, pura-pura menjemput para maling Belanda yang tertinggal. Anehnya, mereka membawa senjata lengkap dan puluah ribu pasukan. Para ulama dan tokoh nasional yang tahu orang Eropa ngedabrus, tentu saja waspada. Dan benar, orang-orang berkulit albino itu langsung bikin ulah. Hanya beberapa hari, mereka langsung mendirikan pos-pos militer, menguasai gedung pemerintahan dan mengancam para pejuang. Bahkan menyuruh para pejuang menyerahkan senjata, melalui selebaran yang lempar dari pesawat tempur. Orang Inggris, belum tahu atau pura-pura tidak tahu kalau nenek moyang kita suka nekad. Para pendekar kok diancam, ya ditantang sekalian. Ya untungnya bukan kita yang diultimatum saat itu. Kalau zaman kita sekarang, yo mbuh-mbuhan. Bisa jadi kita menyerah daripada dibedil. Jangankan perang membela negara, wong bangsa sendiri saja kita caci maki di media sosial. Sedikit-sedikit bilang konoha, sedikit-sedikit merendahkan negara sendiri. Padahal, cari makan hingga nanti dikubur ya di bumi Indonesia.” Wajah Gus Karimun nampak merah padam. Orang-orang tak berani menatapnya karena sekilas, wajah kiai muda itu nampak seperti singa.
“Coba bayangkan, apa tidak lelah berpuluh tahun perang melawan penjajah, pas baru saja merdeka harus kembali berperang? Andai tidak ada seruan jihad dari ulama, andai tidak ada fatwa kewajiban perang sabil bagi para lelaki baligh di radius 81 kilometer, sepertinya takkan sebanyak itu rakyat yang menjemput syahid di Surabaya. Ini benar-benar perang lho, bukan berteriak-teriak bawa spanduk mendemo pemerintah yang sah hanya karena ormasnya dibubarkan. Bukan berteriak-teriak melawan musuh yang hanya berupa halusinasi. Berani datang ke medan laga di Surabaya, berarti siap istrinya menjadi janda dan anaknya menjadi yatim. Para kiai yang rata-rata sudah sepuh, berada di barisan paling depan menyambut pelor dan granat. Kalau zaman sekarang kan, anak buahnya berdemo, bosnya rundingan di hotel membahas deal-deal-an upah demonstrasi. Bisa juga pura-pura umroh ke tanah suci.”
“Seorang veteran Inggris yang hingga kini belum modar, mengaku ngeri melihat keberingasan tentara santri saat itu. Ditembak tidak mempan, dibom bangkit lagi. Lalu tiba-tiba menerjang seraya menusukkan keris atau bambu runcing. Seorang kiai renta bahkan hilir mudik menghalangi pelor dan mortir seraya mengibas-ngibaskan kerisnya. Tiba-tiba mendekat, lalu mengangkat tank seperti mengangkat kobokan.” Gus Karimun menghela nafas dalam-dalam. Matanya berkaca-kaca.
“Perjuangan kita saat ini, ya menjadi rakyat yang taat. Membantu program pemerintah sesuai bidang masing-masing yang kita bisa. Kalau ada kezaliman, ya lawan! Korupsi Dana Desa, kita viralkan, kita laporkan. Ada peserta pemilu lokal main curang, kita kerjai. Ambil serangan fajarnya, tapi coblos calon yang lumayan bagus. Bongkar semua kecurangan pemilu lokal. Baik yang pakai deal-deal-an dengan asosiasi kamituwo, atau memobilisasi para cantrik. Harus kita lawan itu.”
“Para guru, terutama guru honorer, jangan sampai ada yang dikriminalisasi lagi. Para guru adalah para pahlawan tanpa tanda terima!”
“Ila arwahi para pejuang, alfatihah”
*jika ada kesamaan nama tempat atau peristiwa hanya kebetulan semata