Kabupaten Probolinggo memiliki potensi wisata yang besar, tetapi dihadapkan pada berbagai masalah sosial dan ekonomi yang menghambat kemajuan wilayah ini. Tingkat kemiskinan dan penghasilan masyarakat rendah serta rendahnya pendidikan menjadi masalah utama.
Tulisan ini menjadi pengantar menjelang debat publik kedua Pilbup Probolinggo yang diselenggarakan oleh KPU Kabupaten Probolinggo di Surabaya.
Oleh : M. Imamuddin Nur Fajri*
Probolinggo merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jatim yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Lumajang, Pasuruan, Situbondo, Malang, dan Jember. Memiliki potensi dan banyak destinasi wisata kelas dunia yang banyak dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara seperti Gunung Bromo, Pulau Gili Ketapang, Songa rafting dan lainnya.
Tetapi dibalik segala keindahan dan potensi tersebut, Probolinggo juga tidak terlepas dari segala masalah yang ada. Probolinggo memiliki angka kriminalitas dan kemiskinan yang tinggi. Tingkat pendidikan di Kabupaten Probolinggo juga termasuk dalam kategori yang memprihatinkan.
Hal ini seharusnya menjadi fokus utama dalam proses pembangunan. Banyak siswa yang putus sekolah dan memilih untuk langsung bekerja.
Banyak faktor yang menyebabkan persoalan daerah ini, di antaranya :
1. Masalah ekonomi dan kemiskinan
Kabupaten Probolinggo memiliki 24 kecamatan, 330 desa/kelurahan, 1.527 dusun, 1.631 Rukun Warga (RW), dan 6.091 Rukun Tetangga (RT). Luas Kabupaten Probolinggo sendiri 1.696 Km2 dengan tingkat pendapatan rata — rata sebesar Rp 2.553.265,95. Hal ini menunjukkan dengan wilayah yang seluas itu, tetapi Kabupaten Probolinggo masih memiliki tingkat pendapatan yang rendah. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani, peternak, pegawai negeri, dan lain — lain. Kondisi masyarakat yang kebanyakan masih berada dalam jurang kemiskinan inilah yang perlu mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah.
Tidak semua masyarakat memiliki pendapatan yang mumpuni untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Seolah — olah masalah ini sudah menjadi hal yang biasa saja di mata masyarakat. Kenaikan segala kebutuhan hidup pada saat ini sudah mulai melonjak naik, tetapi pendapatan masyarakat yang dalam tanda kutip tidak mampu masih memiliki jumlah pendapatan yang sama atau bahkan menurun.
Para pelaku UMKM juga mengalami hal yang sama, dikarenakan terlalu banyak persaingan di dalamnya yang membuat mereka kesusahan dalam mencari pembeli atau mendapatkan profit dari apa yang mereka jual kepada masyarakat.
Hal — hal tersebut yang akhirnya dapat menimbulkan kasus kriminalitas meningkat dari tahun ke tahun di Kabupaten Probolinggo, seperti kasus pembegalan dan pencurian yang marak terjadi di daerah pegunungan dan desa desa yang jauh dari keramaian masyarakat.
Karena mereka berpikir bahwa dengan cara itu akan mudah mendatangkan uang, padahal mereka tau bahwa ketika mereka sedang tidak beruntung atau apes akan bisa dihabisi massa atau dibawa ke pihak yang berwenang.
2. Rendahnya Tingkat Pendidikan masyarakat
Tingkat pendidikan masyarakat Kabupaten Probolinggo juga sangat memprihatinkan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Probolinggo tahun 2013 menunjukkan bahwa sebesar 31,51 persen masyarakat hanya tamat pendidikan sekolah dasar, 28,28 persen masyarakat tidak tamat sekolah dasar, 16,90 persen tamat di sekolah menengah pertama, 14,91 persen masyarakat tamat SLTA sederajat, dan sebesar 4,76 jumlah masyarakat tidak bersekolah bahkan hanya 3,65 persen dari jumlah masyarakat yang tamat perguruan tinggi.
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa kesadaran masyarakat akan pendidikan masih sangat kurang. Kebanyakan masyarakat akan lebih memilih untuk menikah dini. Data yang didapat dari tahun 2019, pernikahan dini yang terjadi 3.982 pernikahan atau sekitar 44.50 persen dari jumlah pernikahan di Kabupaten Probolinggo.
Dengan angka sebesar itu, keadaan anak muda di Kabupaten Probolinggo sangatlah memprihatinkan. Padahal di umur yang terbilang masih dini harusnya masih dapat mengemban ilmu yang lebih tinggi, untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih baik.
Tetapi, mereka lebih memilih untuk menikah karena menurut mereka seorang perempuan setinggi apapun pendidikannya akan tetap berujung berada di dapur dan mengurus segala keperluan rumah tangga dan bagi kaum pria akan berpikiran bahwa mereka bisa bekerja apapun.
Mereka tidak sadar bahwa bagi kaum perempuan pendidikan dini dari seorang anak berasal dari ibunya dan bagi kaum pria mereka tidak menyadari bahwa persaingan mencari pekerjaan saat ini sangatlah susah.
Untuk bekerja di sebuah pabrik saja, paling tidak seseorang harus memiliki nilai IPK minimal 3,00. Akhirnya banyak diantara mereka yang memilih bekerja serabutan bahkan menganggur karena tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yg lebih tinggi.
3. Perkawinan Anak
Seiring dengan tingginya siswa putus sekolah dan rendahnya tingkat pendidikan, berkorelasi pula dengan tingginya kasus perkawinan anak.
Kasus pernikahan anak dapat terdeteksi dari perkara dispensasi kawin di pengadilan agama. Dalam hal ini, PA Kraksaan yang berada di Kabupaten Probolinggo, menempati ranking ketiga di Jatim selama dua tahun berturut-turut.
Sepanjang tahun 2022, PA Kraksaan menerima 1.137 perkara dispensasi kawin. Angka itu hanya kalah dari Jember dengan 1.388 perkara, dan Kabupaten Malang dengan 1.384 perkara dalam kurun waktu yang sama.
Pada tahun 2023, tiga daerah dengan perkara dispensasi kawin terbesar di Jatim tak berubah. Yaitu Jember dengan 1.362 perkara, Kabupaten Malang dengan 1.009 perkara, dan Kraksaan (Probolinggo) dengan 892 perkara.
Tahun ini, perkara dispensasi kawin di Kabupaten Probolinggo turun drastis. Pada periode Januari hingga 28 Oktober 2024, PA Kraksaan hanya menerima 306 perkara. Di antara 38 kabupaten/kota di Jatim, daerah ini turun menjadi ranking tujuh.
Pada periode tersebut, daerah penyumbang perkara dispensasi kawin adalah Pasuruan (718 perkara), Kabupaten Malang (606 perkara), Banyuwangi (577 perkara), Lumajang (556 perkara), Jember (508 perkara), dan Bojonegoro dengan 322 perkara.
4. Tingginya pernikahan dibawah tangan (sirri)
Hal ini Diketahui berdasarkan tingginya permohonan perkara calon pengantin untuk mendapatkan dispensasi usia kawin melalui persidangan PA Kraksaan.
Umumnya, pasangan anak-anak tersebut melangsungkan nikah sebelum usia 19 tahun secara sirri atau nikah dibawah tangan. Saat sudah hamil dan melahirkan, mereka baru mengajukan permohonan dispensasi dan isbath ke PA Kraksaan, agar bisa mendaftar dan mencatatkan pernikahannya di Kantor Urusan Agama atau KUA.
Dalam catatan PA Kraksaan, jumlah pemohon dispensasi kawin dengan status hamil cukup banyak. Pada 2022 ditemukan 39 kasus. Tahun berikutnya, jumlahnya melonjak drastis menjadi 103 kasus.
Pada periode Januari hingga 28 Oktober 2024, pengadilan agama menemukan 67 kasus hamil
5. Angka kematian ibu dan Anak tinggi
Resiko kehamilan di usia anak merupakan kehamilan risiko tinggi. Ia berkontribusi terhadap tingginya angka kematian ibu dan angka kematian bayi.
Dinkes mencatat, tahun ini hingga Oktober, terdapat 15 kematian ibu dan 186 kematian bayi di Kabupaten Probolinggo dari total 12.078 jumlah kelahiran.
Padahal, target kematian ibu dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) hanya 10 kasus. Sedangkan untuk angka kematian bayi, target dalam RPJMD ditetapkan sebesar 91 kasus.
Kondisi tersebut membuat daerah berpenduduk 1,15 juta jiwa berdasarkan Sensus Penduduk 2020 itu, dianggap sebagai daerah yang bermasalah dalam hal kematian ibu dan bayi.
Dokumen Profil Kesehatan Jawa Timur 2023 menyebutkan, Kabupaten Probolinggo menempati ranking ketiga dengan angka kematian bayi terbanyak. Jumlahnya 239 kasus.
Ranking pertama ditempati Kabupaten Jember dengan 245 kasus. Kemudian disusul Kabupaten Malang dengan 324 kasus kematian bayi.
Sedangkan untuk angka kematian ibu (AKI), sumber yang sama menyebut, Kabupaten Probolinggo menempati ranking keenam di antara 38 kabupaten/kota di Jawa Timur. Sepanjang 2023, ditemukan 23 kasus kematian ibu di daerah ini.
Ranking pertama ditempati Jember (50 kasus). Kemudian secara berurutan disusul oleh Kabupaten Malang (35 kasus), Banyuwangi (28 kasus), Sampang (27 kasus), dan Kabupaten Jombang dengan 24 kasus.
Pernikahan anak berkontribusi di dalamnya. Karena ibu yang masih berusia anak-anak, tidak bisa memberikan hak pada anaknya. Ibu hamil yang berusia di bawah 20 tahun jarang sekali berkontak dengan bidan pada triwulan pertama kehamilan. Padahal, pemeriksaan pada kurun waktu tersebut sangat penting bagi kesehatan janin.
6. Kasus stunting tak kunjung menurun
Kasus bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) di Kabupaten Probolinggo tidak pernah kurang dari 1000 kasus setiap tahunnya.
Pada 2023 ditemukan 1.053 bayi BBLR. Tahun 2024 ini sampai Oktober, sudah ditemukan 700-an kasus.
Indeks Kemiskinan, masalah ekonomi, masalah perkawinan dini dan tingginya kehamilan anak, serta rendahnya pendidikan masyarakat seakan menjadi mata rantai yang sulit dipisahkan dan menjadi penyebab tingginya kasus stunting yang tak kunjung teratasi. Dimana ada fakta IPM Kabupaten Probolinggo yang rendah, realitas kemiskinan yang masih tinggi, maka ini menjadi linier dengan persoalan-persoalan sosial lainnya di kabupaten Probolinggo.
Mengatasi Persoalan Daerah Kabupaten Probolinggo
Sejatinya sekelumit persoalan diatas merupakan masalah klasik dan sudah berlangsung beberapa periode kepemimpinan daerah dari masa ke masa.
Problem klasik ini tentu harus menjadi pokok perhatian dalam visi misi daerah dan program unggulan kedepan.
Setidaknya ada beberapa usulan yang kami tawarkan untuk percepatan penangan permasalahan daerah, antara lain;
1. Menggalakkan program-program pendampingan masyarakat.
Program ini berupa bantuan modal usaha, peningkatan kapasitas, serta meningkatkan keterampilan keluarga sehingga dapat meningkatkan pendapatannya.
Program ini bisa berkolaborasi dengan pemerintah pusat yang ada seperti PKH dari kemensos dan pemberdayaan Desa Kemendes maupun lainnya. Pemda dapat menyediakan stimulus program program pemberdayaan lainnya, bekerjasama dengan seluruh stake holder sehingga efektif dan dapat berkelanjutan.
2. Peningkatan akses dan layanan kesehatan gratis.
Peningkatan layanan kesehatan sampai ke pelosok desa menjadi kebutuhan mendasar, hal ini dapat dimaksimalkan dengan mengalokasikan Dana Desa yang setiap tahunnya semakin meningkat.
Peningkatan layanan kesehatan gratis juga diperlukan seperti pemeriksaan kesehatan di puskesmas bagi calon pengantin, ibu dan Anak. Selama ini semua masih berbayar, padahal ini adalah kebutuhan mendesak untuk percepatan penurunan angka stunting dan meningkatkan indeks kesehatan masyarakat Kabupaten Probolinggo.
3. Meningkatkan Pendidikan masyarakat.
Sukses wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas 12 tahun) menjadi persyaratan mutlak yang harus dilakukan, indeks rata-rata pendidikan masyarakat Kabupaten Probolinggo harus terus ditingkatkan menjadi minimal SLTA.
Pemberian Beasiswa dapat bekerjasama dengan pihak swasta maupun lembaga pendidikan.
Dan tentu masih banyak program-program intervensi lainnya yang harus dijadikan prioritas.
Kini, sudah saatnya Kabupaten Probolinggo berbenah, melepaskan diri dari belenggu persoalan yang ada.
*) penulis adalah Ketua APRI (Asosiasi Penghulu Republik Indonesia) Kabupaten Probolinggo