Koalisi di Pusaran Kekuasaan Dinasti

112

Oleh; Agus Prianto, MPA*

PEMILU menjadi salah satu fungsi penyaluran kekuasaan di negara Demokrasi. Semua insan yang memahami akan sistem kenegaraan akan mengangumi sistem demokrasi tersebut yang mengakui keputusan mayoritas dan melindungi minoritas yang didasarkan nilai bahwa manusia memiliki harkat dan martabat (freedome), kejujuran (Integreted) dan kesetetaraan (equality) sebagaimana yang di cirikan Negara Demokrasi oleh David Rose (2010).

Nilai tersebut akan mengalami adaptasi sebagai bagian eratic yang sangat dipengaruhi oleh budaya dan sosial baik masyarakat terlebih pada sistem partai. Bukan lagi nilai demokrasi itu Universal yang selalu mengukur dari kebebasan, namun semua ada etika dan moral yang mengikat dimana institusional dan sosial mengikat.

Beberapa minggu yang lalu, menjelang penutupan pendaftaran calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah, proses pencarian pasangan nampak begitu rumit. Dilatari ambisi untuk menag, para calon dipaksa membuat kalkulasi yang benar-benar matang. Terlepas bahwa ada pula peran “Orang Pusat” turut menentukan arah politik sang calon.

Nyaris tidak ada pertarungan ide atau gagasan yang mencerminkan upaya pencarian atas problem-problem kerakyatan. Justrru yang nampak adalah perwujudan rasa kekhawatiran untuk tidak bisa merebut kekuasaan, sebagai representasi atas kepentingan pribadi/golongan yang justru menanamkan dan menumbuhkan nilai otokrasi (Abraham Lincoln).

Fenomena yang ditandai adanya daerah yang menjelang Pilkada justru bersemainya akan budaya politik kartel yakni adanya fenomene koalisi KIM Plus dan juga ada daerah yang tidak terpengaruh oleh kontelasi politik nasional, namun justru memilih “melanggengkan” koalisi yang didasaran pada budaya patronklien, yakni justru menolak koalisi KIM Plus di daerah dengan membentuk koalisi ditingkat lokal. Hal ini didasarkan atas penafsiran dan predeksi dari kalkulasi politik, bagi mereka cara apapun tidak menjadi soal yang terpenting menang adalah tujuan utama koalisi.

Fenomena koalisi partai di tingkat lokal membenarkan bahwa politik itu tidak mengenal kawan yang abadi, tapi kepentingan. Dan ini menjadi Dogma (dalil) bagi pelaku politik yang kepentingan bagi mereka adalah merebut kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan (Machiavelli).

Perilaku ini sudah jelas menanggalkan nilai-nilai moralitas dan menempatkan nasib rakyat sebagai commodity politic. Pencitraan politik di depan rakyat yang seakan-akan berada dan memperhatikan rakyat. Padahal kemiskinan di Kabupaten Pasuruan tinggi, krisis lapangan pekerjaan, kerusakan lingkungan akibat tambang dan industrialisasi dimana-mana.

IPM Kabupaten Pasuruan peringkat 19, banyak aset daerah yang tidak produktif, kesenjangan daerah barat dan timur, konflik hubungan industrial dan banyak lagi pekerjaan rumah yang belum diselesaikan selama periode-periode sebelumnya. Lagi-lagi rakyat menjadi objek demagogi politik calon penguasa.

Koalisi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, terbangun didasarkan atas dominasi kepentingan elit lokal yang pada akhirnya mengarah pada budaya oligharkhis, rent – seeking politik kartel.

Situasi ini jika dibiartkan hanya akan melahirkan pemimpin kepala daerah yang tidak memiliki akuntabilitas dalam bekerja lantaran tersandera kontrak politik.

Pertanyaan ke depan adalah apakah masyarakat dan organisasi masyarakat akan berdiam diri dan tetap memilih atau memiliki pilihan alternatif sebagai jawaban ketidakpastian. Maka kita semua perlu menata ulang niat dan perilaku kita untuk bisa menjalankan amanah kholifah fil ardl. (*)

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.