Dekengan Pusatku Mbah Hamid

3013

Beberapa detik Mahmud Wicaksono bingung hendak menjawab ia dari Pasuruan mana. Namun ajaib, ia tiba-tiba ingat Mbah Hamid Pasuruan. “Saya Pasuruannya Mbah Hamid,” jawab Mahmud Wicaksono mantap. Ajaib! Ketujuh pemuda berhidung mbangir itu malah meminta maaf, bahkan memeluk Mahmud Wicaksono secara bergantian.

Oleh: Abdur Rozaq

Umat marjinal seperti Wak Takrip dan para jamaah warung kopi Cak Suep, memang perlu memiliki dekengan. Semacam tempat wadul alias sambat apabila pening di kepala mereka sudah tak tertahankan. Sudah tak mempan diobati dengan kopi dan udud semata. Apalagi umat Kanjeng Nabi seperti Mahmud Wicaksono, agar tidak benar-benar masuk RSJ, harus punya dekengan dalam rangka mengurangi beban hidupnya yang tak pernah selesai itu. Tapi siapa mereka? Siapa umat pinggiran yang tak punya gerombolan, eh partai itu? Para wakil yang mereka coblos, sudah tak kenal. Para pengepul suara rakyat hanya kenal mereka lima tahun sekali, apalagi orang-orang pusat di ibukota sana, mana kenal sama mereka. Dan karena umat marjinal di warung Cak Sueb itu bukan kerabat perangkat desa, jangankan dapat bansos, mengurus KTP saja masih harus bayar. Padahal mitosnya, merekalah sebenarnya juragan para perangkat desa itu.

Umat Kanjeng Nabi yang biasa nyangkruk di warung Cak Sueb, adalah salah satu rakyat yang jarang sekali merepotkan pemerintah di tingkat mana pun. Mereka tak pernah makar, taat membayar pajak, tak pernah ikut demonstrasi bayaran, tak pernah menjelek-jelekkan pemerintah apalagi merencanakan kudeta. Tapi mungkin karena para pelayan, eh pejabat terlalu sibuk mengurus hal-hal besar, umat marjinal seperti mereka jarang sekali mendapat perhatian dari para pesuruh mereka di kantor-kantor instansi.

Baca Juga :   Kota Pasuruan Harus Dikembalikan Ahlaknya

Ketika warung Cak Sueb dan lapak cukur rambut Mahmud Wicaksono digusur, mereka tak punya siapa-siapa untuk diwaduli. Padahal secara de facto, tanah dekat sungai itu sejak turun temurun milik mereka. Bahkan mungkin, kakek buyut keduanya lah pembabat alas area tersebut. Namun demi pembangunan, demi pelebaran sungai dan jalan kampung sekaligus demi proyek dana desa, kedua perusahaan mereka digusur tanpa mendapat ganti rugi. Kalau protes, bisa dituduh melawan pemerintah atau setidaknya menghalang-halangi usaha melancarkan proyek infrastruktur.

Wak Takrip juga begitu. Saat menderita muntaber dan harus dirawat inap di puskesmas, harus dipleroki para pegawai di sana karena menggunakan BPJS. Dilayani sih iya, tapi raut muka dan kosa kata orang-orang di sana, begitu nyelekit. Padahal kan, dana BPJS itu diambil dari uang rakyat, diambil dari pajak? Dan Wak Takrip kan juga taat pajak?

Nah, karena setiap mendapat masalah atau kesulitan tidak ada yang bisa mereka mintai tolong, akhirya mereka mencari dekengan alternatif. Termasuk kepada beliau-beliau yang sudah wafat, termasuk Mbah Abdul Hamid Pasuruan. Ya memang, para umat marjinal itu bisa langsung meminta pertolongan kepada Allah. Tapi kan, kadang-kadang doa mereka di-pending karena tidak terlalu akrab dengan Allah. Allah tak pernah jual mahal, tapi mereka yang kurang serius saat memohon pertolongan dan mencari dekengan. Misalnya, kalau Wak Takrip tak terlalu akrab dengan Wak Bupati, untuk mengirim proposal kan harus melalui asisten bupati agar urusan lancar. Nah, kira-kira seperti itulah posisi Mbah Hamid di hadapan Allah. Karena kan, Mbah Hamid itu wali?

Baca Juga :   Menteri KKP Ziarah Makam Mbah Hamid dan Bagi - Bagi Ikan 1 Ton ke Warga

Paling tidak, Mahmud Wicaksono pernah membuktikan bagaimana kesaktian Mbah Hamid Pasuruan. Alkisah suatu saat, demi mengurangi rasa pening di kepalanya, Mahmud Wicaksono mbambung ikut rombongan ziarah ke makan Sunan Bonang di Tuban. Setiba di makam, ketika hendak masuk area makam, Mahmud Wicaksono dihadang lima sampai tujuh orang pemuda berpostur tinggi berhidung mancung. Mereka memaksa Mahmud Wicaksono membeli minyak wangi. Setelah berdebat sebentar, Mahmud Wicaksono lolos dan langsung pergi ke makam Mbah Sunan Bonang. Namun sepulang dari makam, ketujuh pemuda itu kembali mengepung Mahmud Wicaksono agar membeli minyak yang terlanjur dipegangnya tadi. Mahmud Wicaksono muntap, ia protes bahwa Kanjeng Nabi Muhammad tak suka dengan cara berjualan seperti mereka. Ketujuh pemuda jangkung itu lalu mengintimidasi Mahmud Wicaksono, dengan mengatakan jika mereka keturuan unggul dari klan anu. Mahmud Wicaksono pucat, takut kuwalat. Untungnya, salah satu dari mereka, dengan mulut bau minuman keras sempat bertanya dari mana Mahmud Wicaksono berasal. Dengan waspada, Mahmud Wicaksono menjawab bahwa ia berasal dari Pasuruan. Si pemuda yang mulutnya bau miras, kembali bertanya “Pasuruan mana?”

Baca Juga :   Rumah di Kejayan Terbakar, Foto Kyai Hamid "Tak Tersentuh" Api

Beberapa detik Mahmud Wicaksono bingung hendak menjawab ia dari Pasuruan mana. Namun ajaib, ia tiba-tiba ingat Mbah Hamid Pasuruan. “Saya Pasuruannya Mbah Hamid,” jawab Mahmud Wicaksono mantap. Ajaib! Ketujuh pemuda berhidung mbangir itu malah meminta maaf, bahkan memeluk Mahmud Wicaksono secara bergantian. Mahmud Wicaksono yang pernah belajar pencak, tetap waspada dalam pelukan mereka. Jangan-jangan ada serangan gelap seperti menjelang pemilu. Tapi Alhamdulillah, mereka tulus meminta maaf. Sejak saat itu, Mahmud Wicaksono semakin yakin jika Mbah Hamid Pasuruan adalah mbah dari seluruh umat**.

Cak Sueb lain lagi. Ketika cintanya kepada Yu Markonah sudah tak terbendung namun ditolak ketika melamarnya, ia wadul kepada Mbah Hamid. Tujuh hari tujuh malam ia membaca Yasin di pesarean Mbah Hamid. Sepulang dari tirakat, orang tua Yu Markonah mesam-mesem menyuruhnya segera melamar.

Hampir seluruh umat marjinal yang biasa ngopi di warung Cak Sueb, lebih mengandalkan Mbah Hamid yang sudah “wafat” daripada wakil-wakil mereka di kantor-kantor instansi ketika menyelesaikan masalah. Wadul kepada Mbah Hamid, tak perlu audiensi, mengikuti protokoler apalagi bayar. Cukup tawasul di makam beliau, madul, memohon agar didoakan kepada Allah, beres. Setelah itu tinggal ngopi di pasar poncol atau alun-alun, seraya makan ketan koyah atau putu. Selebihnya, biarlah Mbah Hamid yang matur kepada Allah dan mereka terima beres.

*Penulis buku, cerpenis dan youtuber

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.