Gerakan Cangkem Elek Ditengah Demokrasi Abang – abang Lambe

86

Janji kampanye hanya sebagian yang dilaksanakan. Selebihnya hanya seremonial. Bertahun-tahun entah kemana, giliran mau kampanye tiba-tiba muncul lagi seperti lima tahun sebelumnya.

Oleh: Abdur Rozaq*

Seperti puluhan bahkan ratusan kali pemilu sebelumnya, pilkada kali ini masih saja (dan akan selalu) diwarnai saling paiduh, ilok-ilokan bahkan naudzu billah jotosan. Itu kultur, “kearifan lokal”, makanya akan tetap ada. Jangankan di kalangan jamaah warung kopi, wong Wak Joe Biden dan Wak Donald Trump saja juga masih begitu. Padahal konon, di kecamatan Wak Biden, demokrasi sudah jadi berhala.

Menurut Wak Takrip, saat pemilu 1965 bahkan saling adu pentungan. Setelah Orde Baru juga begitu, bahkan setelah Reformasi, juga begitu. Sepertinya, kontestasi politik merupakan moment rutin untuk saling paiduh sesama anak bangsa. Paling tidak, saling sindir, lah. Jangan-jangan, demokrasi merupakan sarana legal pelampiasan untuk maiduh orang dan membenarkan gerakan cangkem elek.

Fenomena ini, sekali lagi menjadi beban pikiran Mahmud Wicaksono. Nasib tukang cukur itu memang gak bejo. Hidup sekali kok sukarela menjadi hamengku bhumi dan sangga buwana. Menjadi pemangku bumi dan penyangga semesta. Paling tidak demikian dalam hayalan Mahmud Wicaksono. Setiap fenomena harus ada yang menangisi, setiap tragedi harus ada yang mengistighfari agar azab tak benar-benar turun. Atau turun tapi dikurangi kepedihannya.

Warung Cak Sueb pun, auranya perlahan suram. Jika dirasakan dengan indera bathin, hawanya terasa panas. Sudut warung kopi tiba-tiba terkotak-kotak. Pendukung pasangan calon walikota dan bupati tiba-tiba memasang sekat ghaib, apalagi ketika para pengepul suara ikut ngopi. Awalnya saingan memasang banner, kemudian saling berebut tempat untuk menempel stiker bahkan sampai di pintu WC umum dekat warung. Tiang listrik, meja warung kopi, pagar kuburan bahkan tempat keranda tak luput dari invasi stiker para pasangan calon. Cak Sueb memang kapitalis sejati. Memasang stiker di sudut manapun di warungnya memang gratis, tapi kan sungkan jika terlanjur memasang stiker tidak ikut memesan kopi dan nyemil gorengan?

Sayangnya, baliho dan stiker itulah yang seringkali memantik debat kusir antar sesama pendukung. Wak Takrip misalnya, tiba-tiba mendiskreditkan salah satu pasangan calon dengan berkata “dari dulu apa nggak lelah ikut nyalon terus? Kok sampai mblenger lihat wajahnya di baliho, stiker, kaleder dan kaos murah.”

Mas Bambang LSM tersinggung. Makanya langsung menimpali Wak Takrip. “Berarti beliau cukup pengalaman dan sudah dikenal rakyat. Daripada yang tiba-tiba muncul. Belum tahu apa kiprahnya, belum tahu seperti apa sosoknya, tiba-tiba sok akrab mau nyalon.”

Cak Salim blantik tersulut dan berkata “ya lebih baik tokoh baru, Mas Bambang. Barangkali ada inovasi atau perubahan kepentingan. Yang lama sudah kita rasakan seperti apa kinerja dan perjuangannya untuk rakyat. Dan alhamdulillah, ya gitu-gitu aja. Janji kampanye hanya sebagian yang dilaksanakan. Selebihnya hanya seremonial. Bertahun-tahun entah kemana, giliran mau kampanye tiba-tiba muncul lagi seperti lima tahun sebelumnya.”

Perdebatan kian memanas karena para pendukung –entah kenapa—begitu fanatik dan berhalusinasi jika pasangan calon yang mereka dukung adalah pahlawan yang akan menyulap kabupaten dan kota mereka menjadi baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur.

Mahmud Wicaksono yang belum tahu hendak menentukan pilihannya kepada siapa, tumben tidak menentukan sikap dan tidak ikut-ikutan berceloteh. Mungkin Mahmud Wicaksono trauma, selalu dibohongi setiap kali pemilu.

“Yang mengerikan, ujar Cak Soleh tambal ban. “Baru kali ini muncul sebagai calon sudah berani main MoU-MoU an segala. Pakai jaringan anu agar bisa mengkodisikan para kamituwo dalam satu barisan mendukungnya.”

“Lha namanya politik kan ya strategi apa saja boleh dilakukan kan, cak?” Sanggah Cak Asnan terop.

“Lho, kalau strateginya menabrak netralitas dan memanfaatkan struktur kamituwo seperti pemilu nasional kemarin ya perlu diberi kartu kuning, cak. Gak boleh pakai alat negara demi kepentingan politik.”

“Sik talah, kamituwo kan warga negara Indonesia Raya? Mereka kan memiliki hak pilih? Kenapa dilarang menjadi pengepul suara?. “Asal tidak memanfaatkan bansos sebagai iming-iming apalagi intimidasi, ya gak papa.

“Bagaimana kalau bansos dijadikan alat atau yang gak nyoblos dipersulit saat mengurus KTP?”tangkis cak sholeh.

Suasana semakin memanas seperti hawa ditagih pinjol atau rentenir legal milik negara.

Sementara itu di sudut warung, Mahmud Wicaksono resah oleh debat kusir sekaligus angsuran KUR. Kenapa umatnya belum juga dewasa? Kenapa masih saja suka eyel-eyelan hanya gara-gara beda pilhan? Toh tim sukses ring 1 sekalipun, kalau calonnya jadi takkan diangkat menjadi PNS. Toh, setelah dilantik para calon itu takkan lagi kenal sama mereka.

Tadi malam, melalui wifi gratisan nyolong punya tetangga, Mahmud Wicaksono menyimak berbagai postingan di berbagai media sosial. Isinya ya juga debat kusir. Umatnya sebagian besar menjadi fanatik terhadap calon yang mereka dukung masing-masing.

Ada yang menjelek-jelekkan kaum brahmana yang cawe-cawe ikut terjun ke politik praktis. Ada yang menggoreng isu MoU antara salah satu calon dengan asosiasi kamituwo, ada yang menjelek-jelekkan borongan parpol. Dan rata-rata, menggunakan bahasa paling barbar seraya menyembunyikan identitas akun masing-masing. Mengkritik, tapi tak berani menunjukkan identitas.

Mahmud Wicaksono berpikir, apa sebaiknya demokrasi diganti saja? Kembali ke sistem otoriter atau monarki sekalian? Toh demokrasi hanya abang-abang lambe. Hanya sandiwara. Pura-pura demokrasi, tapi kongkalikong, cawe-cawe dan main jaringan tetap jalan.

*Penulis buku, cerpenis dan youtuber

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.