Zaman sekarang, orang sesuci apapun tak jarang ikut bermain politik praktis demi berbagai tujuan. Bisa jadi Gus Karimun tak seberapa doyan uang panas, lha bagaimana kalau nanti menitipkan keponakan, sepupu atau bahkan santrinya kepada paslon yang didukungnya. Kalau paslon yang didukung terpilih, dapat jatah CPNS dekengan pusat, misalnya.
Oleh: Abdur Rozaq*
Setiap kali ada pemilu, para makelar suara rakyat seperti Cak Sueb, pasti ketiban rejeki. Selain warungnya ramai oleh para calon atau timses yang tiba-tiba dermawan suka mentraktir kopi dan rokok, sebagai pengepul suara rakyat, Cak Sueb bisa untung banyak.
Sayangnya, Mahmud Wicaksono yang dicurigai orang sebagai anggota LSM, bahkan ada yang menuduhnya sebagai agen Mossad yang sedang menyamar sebagai tukang cukur, tak pernah kebagian banyak. Salah sendiri sok idealis. Kawan-kawannya di warung Cak Sueb, seringkali memberinya saran untuk mengerjai para calon yang ikut pemilu. Misalnya, ambil semua uang sogokan, tapi coblos calon yang lumayan baik. Tapi Mahmud Wicaksono menolak. Katanya haram. Lha lebih haram mana mencalonkan diri dengan memberi serangan fajar dari uang syubhat, lalu setelah terpilih membohongi rakyat?
Mahmud Wicaksono menolak, katanya Tuhan akan memberikan pemimpin gak pokro jika rakyatnya juga gak pokro.
Saat ini, pilkada akan kembali digelar. Rakyat sekali lagi disuguhi drama dan dagelan. Misalnya ludruk tentang kedermawanan para calon, ludruk janji kampanye, bahkan teaterikal kepahlawan para calon. Rakyat sudah hapal, tapi entah kenapa masih tetap percaya. Masih tetap terlena dan tidak sadar jika itu semua hanya settingan, drama dan kamuflase. Bahkan, pasti masih ada tim sukses yang meyakinkan rakyat jika jagonya serius, tidak sedang dagelan. Ada yang sampai saling sindir di media sosial dan hampir jotosan. Pilu sekali memikirkan kebelum dewasaan politik umatnya itu. Nasib pilu Mahmud Wicaksono, sampai lupa ia rasakan karena terlalu menghayati kepiluan semacam itu.
Salah satu yang paling membuat pilu Mahmud Wicaksono, hingga kini politik identitas masih saja laku di negaranya ini. Dari beberapa calon yang ngeyel ikut pilkada, kebanyakan diikuti oleh para brahmana. Bahkan, salah seorang calon, adalah brahmana yang memiliki padepokan cukup besar. Si brahmana ini selalu ikut dalam kontestasi politik apapun. Meloncat dari partai ini ke partai itu. Menjadi calon ini dan calon itu.
Gus Karimun, entah bagaimana bisa mendengar kegelisahan Mahmud Wicaksono itu. Dengan gamblang, Gus Karimun malah memuji para brahmana yang rela turun kasta menjadi ksatria demi rakyat. “Lha Kenjeng Nabi kurang apa, beliau juga berpolitik, kok? Nabi Sulaiman dan Nabi Yusuf jadi raja, KH. Abu Bakar, KH. Umar bin Khattab, KH. Utsman bin Affan, dan KH. Ali bin Abi Thalib bahkan menjadi presiden,” ujar Gus Karimun seraya memesankan kopi buat Mahmud Wicaksono.
“Masalahnya gus, brahmana sekarang tak selugu kiai Ali bin Abi Thalib. Setelah terpilih malah lebih fokus membesarkan padepokannya sendiri. Lucunya, pakai ada acara mobilisasi para cantrik untuk memilihnya. Para cantrik kan punya hak untuk mbalelo, atau punya pilihan lain yang menurut mereka lebih pas?”
“Kita husnudhan saja Mas Mahmud. Barangkali kalau walikota atau bupati kita seorang brahmana atau resi, moral masyarakat semakin membaik. Lagi pula, masa tega orang-orang suci melakukan hal-hal kurang terpuji? Lha daripada kita dipimpin bromocorah asli, bagaimana nasib kita?”
Dasar Mahmud Wicaksono, meski selama ini subsidi kopi dan rokok selalu ia terima dari Gus Karimun, sekali beda pendapat ya tetap ngeyel. Bisa jadi Gus Karimun tim sukses salah satu pasangan calon. Zaman sekarang, orang sesuci apapun tak jarang ikut bermain politik praktis demi berbagai tujuan. Bisa jadi Gus Karimun tak seberapa doyan uang panas, lha bagaimana kalau nanti menitipkan keponakan, sepupu atau bahkan santrinya kepada paslon yang didukungnya. Kalau paslon yang didukung terpilih, dapat jatah CPNS dekengan pusat, misalnya.
“Kalau bercermin pada strategi Walisongo, yang menjadi sultan Demak tidak harus Sunan Kudus, lho Gus. Para sunan hanya berdiri di belakang sebagai penasehat, tukang suwuk bahkan banyak yang netral sama sekali. Dan kalau kita bandingkan KH. Ali bin Abi Thalib dengan para para kontestan pilkada, saya kira njomplang. Lagi pula, KH. Umar bin Khattab malah budrek bahkan hendak jotosan ketika hendak dicalonkan. Bahkan setelah terpaksa menerima mandat sebagai khalifah alias presiden, pulang ke rumah beliau menangis sejadi-jadinya. Lha para brahmana kita, malah memajang baliho di berbagai pelosok. Fotonya senyum-senyum di dekat poskamling tak jauh dari warung remang. Apalagi, setelah belasan tahun bupati atau walikota kita berasal dari kaum brahmana, warung remang itu tak pernah berhasil dipindah, apalagi dialih fungsikan. Judi online, pracangan narkoba, hanya bisa ditangkap pengepul, bukan bandarnya.”
“Apalagi, saya tak tega ketika sedulur-sedulur LSM menggerakkan para pengangguran untuk menggeruduk kantor bupati atau walikota. Apalagi jika acara menggeruduk itu hanya masalah bagi-bagi bancakan yang tak merata.”
“Semasa Kanjeng Nabi Sulaiman dan Kanjeng Nabi Yusuf menjadi raja, apa bisa beliau berdua menghapus kemiskinan, membubarkan sabung ayam dan menghentikan segenap kemaksiatan?” Balas Gus Karimun dengan tatapan penuh arti.
“Ya tidak Gus. Sebab kemiskinan, kemaksiatan kan memang sesuatu yang abadi,” jawab Mahmud Wicaksono, tak sadar jika jawabannya menjawab pertanyaanya sendiri.
“Lha ya itu, kan sudah terjawab. Sudah sampeyan jawab sendiri, malah. Kalau kemiskinan sudah lenyap, berarti dunia sudah mau kukut. Kalau kemaksiatan berhenti satu jam saja, iblis dan Nafsu pensiun. Sedangkan keduanya kan sedang menjalankan tugas dari Tuhan untuk menguji manusia.” Jawaban Gus Karimun itu hakikatnya benar, tapi Mahmud Wicaksono gengsi untuk mengakuinya. Sebab kalau Mahmud Wicaksono tidak mengkritik, ia sendiri juga membolos dari menjalankan tugas sebagai tukang kritik dari Tuhan.
*Penulis Buku, Cerpenis dan konten kreator