Oleh: Makhfud Syawaludin
Jancok… Bajingan… Bangsat…
Berbagai ekspresi kemarahan masyarakat telah membanjiri berbagai platform media sosial, aksi massa di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta dan di berbagai daerah di Indonesia.
Mereka, termasuk saya pun merasakan kemarahan itu. Sebab DPR dengan tanpa malu melakukan pembangkangan konstitusi, yakni tidak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan hendak menyetujui revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada).
“Ingat Pak Jokowi. Negeri ini bukan hanya milikmu dan keluargamu. Negeri ini bukan hanya milikmu dan ketua-ketua partai bonekamu. Bangsat!”
“Ïbu Pertiwi kita menangis. Di tengah pemekaran konstitusi, yang katanya menjadi wakil rakyat, wakil rakyat yang mana? Di sini rakyat! Di sana siapa? Rakyat sudah bosan dengan omong kosongmu. Semua elit politik, bajingan!”
“Bagi sebagian orang, kata-kata yang saya keluarkan tadi, tidak sopan betul? Apakah membegal konstitusi itu sopan? Bajingan! Bajingan! Bajingan!”
Begitu orasi yang disampaikan oleh Jay Akhmad, Koordinator Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan GUSDURian dalam aksi massa di Yogyakarta, Kamis (22/08/2024).
Sebelumnya, saat penulis memperbarui status di WhatsApp (WA) tentang peringatan Darurat Demokrasi Indonesia dengan gambar Garuda Biru, beberapa kawan bertanya dan mengaku tidak mengetahui tentang informasi tersebut. Padahal, informasi itu sudah viral. Kemudian di salah satu group WA, ada yang mengaku bingung, hendak berbuat apa untuk merespons peringatan darurat itu.
Hal itu menjadi refleksi bersama bahwa konsolidasi masyarakat sipil dalam mengawal demokrasi perlu untuk terus dirawat dan diperkuat. Tujuannya untuk memastikan demokratisasi di negeri ini dijalankan dengan sebenarnya. Sebab demokrasi tanpa diawasi hanya akan menjadi prosedur dan alat politik yang dapat ditunggangi oleh sekelompok orang dan keluarga yang mengaku memiliki dan dipimpin oleh “Raja Jawa”.
Siapa “Raja Jawa”?
Berbicara tentang Raja Jawa, penulis teringat dengan pernyataan Gus Dur. Saat dirinya mendapat informasi dari Panglima Kostrad Wiranto yang mengatakan bahwa Jendral (Purn) Feisal Tanjung diberi mandat oleh Presiden Soeharto untuk melenyapkan Gus Dur. Saat Wiranto mengkonfirmasi hal itu, Presiden Soeharto mengatakan tidak.
“Tapi saya tahu juga kebiasaan Raja Jawa, Pak Harto kan anggap dirinya Raja Jawa. Apa yang dilakukan tangan kanan, tangan kiri nggak boleh tahu.” Jawab Gus Dur.
Saat ini kira-kira siapa yang disebut atau mengaku Raja Jawa?
Sekelas Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia, yang ditanya perihal pernyataannya tentang Raja Jawa yang dapat membuat celaka jika berani bermain-main dengannya, menjawab bahwa pernyataannya itu adalah bercanda.
Menurut penulis, Raja Jawa itu ya Mukidi. Seorang tokoh dalam tulisan kolom karya Airlangga Pribadi Kusman dengan judul Bonapartisme Baru yang diterbitkan Majalah Tempo Edisi 5-11 Agustus 2024.
Penulis kemudian penasaran, bagaimana kira-kira pendapat dan diskusi Mahmud Wicaksono dan kawan ngopinya tentang topik Pembegalan Konstitusi oleh DPR.
Sembari menunggu jawaban Mahmud Wicaksono, mari terus memperkuat konsolidasi masyarakat sipil untuk mengawal tegaknya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan menolak revisi RUU Pilkada.
*Koordinator Komunitas Gitu Saja Kok Repot (KGSKR) GUSDURian Pasuruan & Dosen UNU Pasuruan