Nasionalisme Babi Buta

51

Cak Man Las cari gara-gara dengan menghina pemerintah. Yang tidak becus lah, yang tidak jujur lah, semakin banyak pengangguran lah. Dan akibatnya, Mahmud Wicaksono murka. Namun semurka-murkanya Mahmud Wicaksono, tetap saja rokok lawan debatnya ia ambil dan disulut satu persatu.

Oleh: Abdur Rozaq

Selain dicurigai sedikit gak pokro, Mahmud Wicaksono ternyata melankolis juga. Di balik sikapnya yang ceplas-ceplos dan suka mengkritik apa saja, ternyata tukang cukur itu mudah sekali menangis. Namun belum diketahui secara jelas, apakah ia menangisi nasibnya sendiri, atau menangisi berbagai ketimpangan dan salah kaprah.

Menjelang peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus hingga beberapa hari setelahnya, Mahmud Wicaksono kepergok beberapa kali menangis. Saat tahlilan di surau pada malam tujuh belasan, tukang cukur itu nampak menangis saat Gus Karimun berpidato. Padahal, pidato Gus Karimun saat itu hanya berisi ajakan untuk mengenang dan beterima kasih kepada para syuhada’ pejuang. Udin Dinamo, Cak Sueb, bahkan Wak Takrip, malah cengengesan seraya ngerasani gaya sok lugu Pak Kades. Dengan kostum baju koko putih dan sarung samarinda begitu, menurut mereka Pak Kades seakan-akan tak pernah dugem menggunakan dana desa.

Saat tabur bunga di makam seorang pejuang di pemakaman desanya, Mahmud Wicaksono tak bisa lagi menyembunyikan tangisannya. Diusap-usapnya nisan kuburan yang hanya diziarahi setahun sekali di bulan Agustus itu. Dari sikapnya, Mahmud Wicaksono seakan-akan sedang meminta maaf untuk dirinya, sekaligus meminta maaf atas nama warga di desanya. Terutama para perangkat desa dan para pegawai kontrak program pemerintah yang—konon—kurang jelas tugasnya.

Entah apa maksud teaterikal tukang cukur sempel itu di sisi makam sang pejuang. Yang jelas, suasana haru malah berubah lucu karena orang mencibir kelakuan Mahmud Wicaksono.
Saat malam pegelaran seni dalam perayaan agustusan, Mahmud Wicaksono meminta waktu kepada panitia untuk membaca puisi, sebelum pagelaran orkes dangdut dimulai. Dan diakui atau tidak, puisi gubahan tukang cukur itu ternyata lumayan juga.

Ratusan hadirin dibawanya tersesat ke alam imajinasi. Kalimat-kalimatnya sederhana, diksinya biasa, namun tukang utang rokok itu mampu meramunya begitu tepat. Seperti kata entah siapa, bukankah kata-kata yang dirangkai dengan tepat akan bisa mencuci otak seseorang? Bukankah dulu Cak Sueb menulis surat dengan kalimat-kalimat murahan dan Yu Markonah bertekuk lutut karenanya? Bukankah para caleg berkali-kali berhasil memanipulasi pikiran para pemilihnya setiap kali menjelang pemilu, meski selalu ingkar janji setelah terpilih? Kira-kira demikianlah puisi sederhana karya tukang cukur yang pelanggannya selalu sepi itu.

“Tak menyesal darah kami tumpah di atas tanah ini
Tak menyesal tulang kami patah dan hancur, lalu menyatu di tanah ini
Yang kami sesali, kalian merampas nasi dari piring saudara kalian sendiri” demikian salah satu bait puisi karya Mahmud Wicaksono. Sepertinya mewakili penyesalah arwah para pahlawan dari alam sana.

Dan, hingga beberapa hari setelah tanggal 17 Agustus, masih saja Mahmud Wicaksono bertingkah aneh. Jika kemarin-kemarin suka menangis dan melankolis, kini malah suka uring-uringan. Di warung Cak Sueb, beberapa kali ia berdebat kusir dengan beberapa kawannya. Debat itu tiba-tiba memanas, padahal Mahmud Wicaksono ngampung rokok orang yang didebatnya dengan sengit. Siang itu, Cak Man tukang las cari gara-gara dengan menghina pemerintah. Yang tidak becus lah, yang tidak jujur lah, semakin banyak pengangguran lah. Dan akibatnya, Mahmud Wicaksono murka. Namun semurka-murkanya Mahmud Wicaksono, tetap saja rokok lawan debatnya ia ambil dan disulut satu persatu.

“Memangnya mudah mengurus negara?!” Tanya Mahmud Wicaksono kepada Cak Man tukang las.
“Memangnya bisa memuaskan 200 juta lebih rakyat Indonesia ini?” Ujar sarjana tukang cukur itu menyalak.
“Negara kita tidak bubar saja, sudah alhamdulillah. Kita bisa makan atau setidaknya bisa ngutang beras kepada tetangga saja, sudah patut kita syukuri daripada di Banglades sana.”
“Jangan kira di Amerika sana tidak ada wong mbambung, dan di Inggris tak ada orang jatuh miskin. Kita sih, buka HP hanya main judi online atau nonton film anu. Coba sekali-kali baca berita yang benar, bukan berita atau konten yang dibuat oleh para beban negara yang asal nyinyir padahal tak tahu permasalahan sebenarnya.”

“Cukup sudah, kita harus cerdas menyimak fitnah orang-orang yang punya agenda busuk terhadap negara ini. Jangan asal telan isu, lalu meyakininya sebagai kebenaran.” Kata Mahmud Wicaksono.

Cak Man tukang las tentu saja tak terima. Sebab dengan mata kepala sendiri, ia mendengar berita di situs dan televisi nasional “terpercaya” jika korupsi memang malah makin menjadi-jadi.

“Masa sempeyan tidak pernah dengar berita korupsi timah, nepotisme, bagi-bagi jabatan dan segenap kongkalikong?” Balasnya tak kalah sengit.

“Tapi cak, di dunia ini negara mana yang tak ada korupsi? Di negara mana yang tak ada nepotisme dan pengangguran?” Jawab Mahmud Wicaksono ngegas.

“Salah kita sendiri setiap pemilu masih saja memilih caleg yang menebar serangan fajar. Salah kita sendiri tidak patuh kepada hukum Tuhan, sehingga Tuhan pun memberikan para pemimpin tidak adil kepada kita.” Gus Karimun manggut-manggut. Perkataan ngawur tukang cukur itu memang benar.

“Lha mau bangsa kita maju bagaimana kalau kita sendiri tak berkenan memberikan pengabdian terbaik kepada negara? Kita tak perlu menjadi siapa-siapa untuk membangun negara ini. Sabagai tukang cukur, seharusnya saya memberikan pelayanan terbaik agar pelanggan puas dan persaingan antar tukang cukur makin progresif. Jika semua tukang cukur berlomba memberikan pelayanan terbaiknya, semua lapak cukur akan ramai, perputaran ekonomi berjalan stabil, dan kemaruk bansos bisa diminimalisir.”

“Sebagai tukang las profesional, sampeyan juga bisa iseng-iseng merakit alat pertanian, misalnya. Jika berhasil kan, bisa membuat kerja saudara-saudara petani jadi lebih ringan. Dengan begitu, siapa tahu ada anak-anak muda yang baru di-PHK pabrik tertarik untuk menggarap sawah?”

“Cak Sueb dengan pengalamannya sebagai penjual kopi, kenapa tidak coba-coba meracik kopi sendiri? Kopi dari biji kecubung, misalnya. Kalau berhasil kan bisa dipatenkan, bisa menjadi UMKM atau setidaknya dijual sendiri di warung ini.”

“Lha sampeyan sendiri sudah membuat inovasi apa, mas?” Ujar Cak Sueb, sedikit tak terima.
“Paling tidak, saya sudah berangan-angan. Paling tidak, saya tidak selalu memandang rendah potensi manusia Indonesia. Paling tidak, saya berpantang untuk memprovokasi agar rakyat hilang kepercayaan kepada para pemimpin. Saya tak pernah memancing orang untuk meremehkan bangsanya sendiri, tak pernah merasa bangsa lain lebih hebat dari bangsa kita. Saya memang rasis dan meyakini jika bangsa kita adalah bangsa terbaik di dunia ini. Sebab dengan rasisme itu, bangsa-bangsa maju berhasil menjadi pemenang. Lha kalau kepada diri sendiri kita memandang sebelah mata, mana bisa bangsa lain menghargai kita?”

“Saya memang penakut, tapi kalau ada yang merendahkan bangsa kita, tak pentung!” Gertak Mahmud Wicaksono seraya mengambil sebatang lagi rokok Cak Man tukang las.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.