Indonesia bukan Negara Agama. Sehingga tidak diperlukan penerapan syariat agama, dalam arti penerapan hukum Islam sebagaimana yang diusung oleh kelompok-kelompok Islam Konservatif.
Oleh : Makhfud Syawaludin
Menyala bos ku. Begitu kira-kira suasana jumatan yang dirasakan oleh penulis di siang hari ini, 16 Agustus 2024, tepatnya di Masjid Al-Ikhlas, Dusun Bunder, Desa Lemahbang, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Pasuruan.
Perasaan menyala itu bukan karena yang menjadi Khotib Jumat adalah anak muda. Bukan juga karena intonasi suaranya yang membara, layaknya pembina upacara kemerdekaan besok, 17 Agustus 2024. Lalu apa?
Di masjid tingkat dusun itu, Khotib dengan percaya diri menegaskan bagaimana para ulama dan para tokoh agama yang lain melawan penjajah dan memperjuangan kemerdekaan Indonesia, menyusun Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, hingga mengutip Surat Al-Baqarah Ayat 256.
“Indonesia adalah negara kedaulatan, bukan negara kekuasaan. Indonesia merdeka untuk mewujudkan kemaslahatan ummat (Baca: Warga Negara), bukan hanya untuk satu golongan tertentu”.
Santri muda itu kemudian menegaskan bahwa Indonesia bukan Negara Agama. Sehingga tidak diperlukan penerapan syariat agama, dalam arti penerapan hukum Islam sebagaimana yang diusung oleh kelompok-kelompok Islam Konservatif.
Sehingga menjadi sebuah keniscayaan bagi pemeluk agama-agama di Indonesia untuk bersama-sama dalam menjani hidup rukun dan menjalankan dakwah secara toleran.
“lâ ikrâha fid-dîn, Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam)”. Tutup sang Khotib sebelum membacakan doa di khutbah pertama.
Menyala kan bolo? Lebih-lebih itu disampaikan di masjid dusun.
Namun, ada kalimat dalam khutbah tersebut yang menurut penulis mengandung narasi mayoritarianisme. Sebuah paham yang memberi hak istimewa kepada kelompok mayoritas di sebuah kelompok atau negara.
“Mayoritas melindungi minoritas, dan minoritas menghormati mayoritas”. Tegas sang Khotib.
Narasi itu tentu berpotensi untuk melanggengkan perspektif yang selama ini masih dimiliki oleh kebanyakan masyarakat Indonesia dalam memahami dan bersikap toleran terhadap yang berbeda. Dari narasi itu juga dapat membuat kelompok mayoritas, bahwa sebagai imbalan mayoritas yang melindungi minoritas, atau sebab minoritas membutuhkan perlindungan mayoritas, maka minoritas harus menghormati mayoritas.
Bukan kah lebih tepat dan indah ketika mayoritas dan minoritas saling menghormati, menerima, dan menghargai.
Terlepas dari itu, penulis bersyukur ada anak-anak muda yang bersedia dengan sepenuh hati saat diminta menjadi Khotib Jumat.
Nanti malam, di dusun itu akan digelar tasyakuran dan selametan kemerdekaan di depan masjid. Setiap masyarakat berdasarkan gang di dusun akan membuat ancak dengan ragam model. Warga juga akan hadir membawa alas, makanan dan jajan untuk disantap ramai-ramai setelah pembacaan diba’ keliling dusun, tahlil, dan doa bersama.
Merdeka!!!
Menyala Indonesia ku!!!
*Penulis: Dosen UNU Pasuruan