Kenapa Wak Takrip yang mbahnya pejuang Hizbullah harus minggir karena panjenenganipun penunggang moge lewat? Apakah ini masih di zaman kerajaan, sehingga kawula alit harus minggir ketika para ndoro ngabehi lewat?
Oleh: Abdur Rozaq
Sepinya pelanggan potong rambut di lapak Mahmud Wicaksono, kadang perlu disyukuri, paling tidak oleh bangsa Indonesia ini. Sebab jika pelanggannya sepi, Mahmud Wicaksono lebih banyak menganggur, dan itu membuatnya punya banyak waktu untuk merenung di warung kopi Cak Sueb. Kalau sudah begitu, akan banyak ide-ide ngelantur dari kepala Mahmud Wicaksono, yang kadang sedikit berguna bagi peradaban manusia. Orang bahkan sempat mengira, Mahmud Wicaksono sebenarnya intel yang sedang menyamar menjadi tukang cukur, karena seringnya ia melontarkan ide-ide lumayan berguna ketika jandoman di warung kopi. Tapi karena hingga kini Mahmud Wicaksono tetap miskin, akhirnya kecurigaan itu terkikis. Orang lantas percaya jika lelaki sinting itu asli tukang cukur.
Saat ngopi di warung Cak Sueb bersama para pemuda selepas kerja bakti menyambut agustusan, Mahmud Wicaksono nyeletuk jika kemerdekaan Indonesia ini salah kaprah. Pak RT yang menangi masa Orde Baru, langsung curiga Mahmud Wicaksono terpapar paham anti NKRI. Untungnya, Gus Karimun yang matang paham kebangsaannya, langsung pasang badan. Membela Mahmud Wicaksono. Menjelaskan jika pendapat Mahmud Wicaksono perlu diklarifikasi sebelum dihakimi. Gus Karimun lantas menjadi moderator, dan mempersilahkan Mahmud Wicaksono menyampaikan pendapatnya.
“Maksud saya, kebebasan kita dalam mengisi kemerdekaan ini masih banyak yang salah kaprah.” Jelas Mahmud Wicaksono, seraya menyeruput kopi utangan dan meraih kotak rokok Gus Karimun. Disulutnya tanpa permisi, karena Gus Karimun memang donatur rokok dan kopi bagi orang-orang lemah seperti Mahmud Wicaksono.
“Semua orang kan makin melek demokrasi? Semua orang kan paham, jika di negara tercinta ini memiliki hak yang sama untuk berekspesi, bergerombol bahkan mengemukakan pendapat? Nah, sayangnya, masih belum banyak yang menyadari jika kemerdekaan kita, kadang terbentur oleh kemerdekaan orang lain.” ujar Mahmud Wicaksono.
“Misalnya?” Kejar Pak RT.
“Contoh kecil, kita merdeka untuk bergerombol, eh mengikuti organisasi tertentu, belajar bela diri tertentu. Namun, mungkin karena terlena dengan kemerdekaan dan menghayati demokrasi, akhirnya banyak terjadi konvoi motor sambil blayer-blayer sekaligus membikin kemacetan bahkan berbuat anarkis terhadap pengguna jalan lain. Meski belajar silat tak ada kaitannya dengan konvoi atau show of force, kita seringkali membikin petaka dengan memukul pengguna jalan, padahal sudah minggir dan mengalah.” Kata Mahmud Wicaksono.
“Contoh lain,” sambungnya.
“Kita bebas menggelar hajatan, karena itu memang tak melanggar konstitusi. Namun, karena kita sepakat jika Indonesia sudah merdeka dan semua warga negara berhak berbuat apapun, kita merampas kemerdekaan pengguna jalan dengan menutup jalan umum dengan tenda hajatan. Mendirikan tenda hajatan di tengah jalan umum yang sudah mendapat izin pihak terkait, memang boleh. Namun, kemerdekaan mendirikan tenda hajatan di tengah jalan, sejatinya merampas hak pengguna jalan. Dalam hal ini, kemerdekaan sebuah keluarga merampas kemerdekaan ratusan bahkan ribuan pengguna jalan.” Jelas Mahmud Wicaksono.
”Orang juga merdeka untuk menyulut mercon di ruang tamu, bahkan di kamar tidurnya. Namun kemerdekaan menyalakan mercon ces dor saat dini hari dalam rangka menyambut orang pulang haji atau umrah, saya kira merampas kemerdekaan orang lain untuk tidur nyenyak. Apalagi besok harus kerja keras kembali, agar angsuran BRI, kredit Mekar dan agenda membeli rokok murah tetap lancar.” Pak RT mulai mengangguk setuju.
“Orang juga merdeka untuk membeli moge, lalu membentuk gerombolan eh, komunitas. Namun merampas hak pengguna jalan lain yang juga membayar pajak, bahkan lebih taat, itu kemerdekaan salah kaprah namanya. Apakah Wak Takrip berdosa jika mengendarai motor Supra saat menjajakan bakso dan kebetulan melintas di jalan propinsi? Kenapa Wak Takrip yang mbahnya pejuang Hizbullah harus minggir karena panjenenganipun penunggang moge lewat? Apakah ini masih di zaman kerajaan, sehingga kawula alit harus minggir ketika para ndoro ngabehi lewat? Bukankah Wak Takrip sedang dalam misi mulia, berjuang agar bisa makan dan membayar angsuran?”
“Kita juga merdeka untuk berceloteh, eh mengemukakan pendapat di muka umum. Namun yang kita saksikan, bagaimana barbarnya kita di media sosial? Bahasa paling sarkas di kolom komentar, konten paling di luar nalar, atas nama kemerdekaan dan atas nama adsens, kita rela menabrak segala bentuk moral. Kita memang merdeka untuk memposting apapun, merdeka menjadi buzzer, namun keresahan bahkan naudzu billah konflik akibat ujaran kebencian, jarang kita pikirkan.”
“Tombok judi online, juga bebas alias merdeka untuk kita lakukan. Namun kebebasan menyampaikan usul jika korban judi online akan disubsidi negara, itu perlu diruqyah pelakunya.”
“Apalagi, jika kemerdekaan kita sudah merampas kemerderkaan menyangkut hajat orang banyak, lebih gawat efeknya. Bukankah setiap warga negara berhak dan merdeka untuk mendapat informasi keterbukaan publik? Tentang pengelolaan dana desa, misalnya. Dana BOS misalnya. Proses pengajuan bansos, misalnya. Jika kemerdekaan mendapat informasi seperti itu dibatasi, maka kemerdekaan kita saat ini masih salah kaprah.
“Tapi kan, kalau semua informasi harus diumbar, itu kan vulgar namanya, cak?” Sanggah Cak Paijo LSM.
“Kalau kita masih ingin melestarikan budaya kolonial, lalu sampai kapan kemerdekaan ini tertunda, cak? Balas Mahmud Wicaksono.
“Kita kan sepakat akan menyambut Indonesia Emas tahun 2045? Kalau sampai sekarang budaya warisan panjenenganipun kompeni kita ugemi, tahun 2045 akan jadi Indonesia Cemas.”
Karena tidak ada yang menyetop, Mahmud Wicaksono sepertinya akan terus ngelantur seraya tanpa jeda meraih bungkus rokok Gus Karimun yang pasrah di atas meja warung Cak Sueb.
“Kita harus cemburu dengan Jepang yang sudah bangkit, padahal tahun 1945 baru sembuh dari peristiwa di Hiroshima dan Nagasaki. Kita harus juga cemburu dengan Korea Selatan yang sudah mapan, padahal usianya tak beda jauh dengan negara tercinta ini. Bahkan, kita harus iri dengan Singapura yang sama-sama alumni momongan Eropa, tapi sudah lebih dewasa. Apalagi, Hongkong yang masih seumur jagung, baru dikembalikan Inggris beberapa puluh tahun lalu, sudah seperti itu.”
Pak RT sebagai perwakilan pemerintah, sepertinya sudah tidak mencurigai Mahmud Wicaksono sebagai perongrong kedaulatan negara. Bahkan sebaliknya, Pak RT mulai sadar, jika orang sinting seperti Mahmud Wicaksono, diperlukan keberadaannya oleh bangsa besar seperti Indonesia. Pak RT mengambil kesimpulan, jalan pikiran pengangguran kadang lebih tajam, karena ia punya banyak waktu untuk berpikir ngglambyar. (Bakalan. 3 Agustus 2024)