Dalam perkembanganya, inisiatif oleh KSM ini mendapat respons positif warga setempat. Bahkan, karena dinilai berhasil membawa Randupitu menjadi lebih bersih, oleh warga, pada 2022 lalu, Fuad pun didorong untuk maju sebagia kepala desa dan berhasil menang.
Jadi Bahan Bakar
Berdasar data Pemdes setempat menyebutkan, pada saat awal dibentuk, KSM ini hanya beranggotakan 217 orang. Tetapi kini, angkanya terus bertambah menjadi 203 di 2018; 597 pada 2019 dan meningkat menjadi 941 di 2020 lalu.
Sejalan dengan itu, jumlah timbunan sampah yang berhasil dikumpulkan terus meningkat. Pada 2017 misalnya, sebanyak 108,5 ton sampah berhasil dikumpulkan. Kemudian, meningkat menjadi 153 ton di 2018; 298,5 ton di 2019. Pada 2020, jumlah sampah yang dihimpun meningkat drastis hingga 2.648 ton.
Ketua KSM Pempes, Harinono menjelaskan, meningkatnya volume sampah tersebut tak lepas dari bergabungnya dua dusun lain di Randupitu. “Karena awalnya dulu kan cuma satu dusun, yakni Dusun Babat. Sekarang, dua dusun lain, yakni Gesing dan Randupitu ikut bergabung juga. Jadi semuanya sudah bergabung,” ungkapnya.
Hariono menuturkan, sampah-sampah yang dikumpulkan itu kemudian dilakukan pemilahan. Untuk sampah basah (organic) diubah menjadi composting. Termasuk sisa makanan. Sedangkan sampah kering (anorganik) dijadikan RDF (refuse derived fuel) untuk pengganti bahan bakar batubara yang kemudian dijual ke perusahaan.
Di sisi lain, kabar keberhasilan Pemdes Randupitu wujudkan nol sampah akhirnya sampai ke daerah lain. Salah satunya Yogyakarta. Secara berkala, DLH setempat bahkan mengirimkan sampah organiknya ke Randupitu untuk diolah.
Atas capaian ini, Pemkab Pasuruan pun memberikan penghargaan kepada Desa Randupitu sebagai satu-satunya desa di Kabupaten Pasuruan yang berhasil wujudkan nol sampah. Penghargaan diberikan saat peringatan Hari Bumi beberapa waktu lalu.
Perpanjang Umur TPA
Randupitu bukanlah satu-satunya desa di Kabupaten Pasuruan yang bisa menjadi contoh baik bagaimana pengelolaan sampahnya. Data FKPL, beberapa desa yang lain juga sukses mengambil inisiatif serupa. Sebut saja misalnya Desa Ngerong, Kecamatan Gempol; Desa Suwayuwo, Kecamatan Sukorejo dan juga Desa Martopuro, Kecamatan Purwosari.
Di Desa Ngerong, keberhasilannya untuk mengolah sampahnya secara mandiri terbukti berhasil menekan biaya operasional yang harus dikeluarkan pihak desa sebelumnya. Sebagai catatan, sebelumnya, pihak desa harus mengeluarkan biaya hingga Rp9 juta per bulan hanya untuk membuang sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Kini, setelah diolah secara mandiri di fasilitas 3R miliknya, KSM Desa Ngerong justru meraup untung dari menjual sampah dan juga produk turunnya. Seperti kompos dan juga pupuk cair. “Ini juga peluang untuk membuka lapangan kerja baru karena ada lebih dari 50 orang yang terlibat di pengelolaan sampah ini dan dibayar,” ungkap Muzayin, ketua KSM setempat.
Penyuluhan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Pasuruan, Diana Indah Kusumawati mengungkapkan, pihaknya terus mendorong agar praktik baik oleh beberapa desa tersebut dapat direplikasi di desa lain. Sebab, dari 360 desa yang ada di kabupaten, baru sebagian kecil yang berhasil mengelola sampahnya secara mandiri.
“Karena pada dasarnya, tanggung jawab untuk mengelola sampah itu tidak hanya ada di Pemerintah, tetapi juga masyarakat secara umum. Jadi, masing-masing memang harus ikut berperan,” katanya kepada Mongabay. Secara khusus, Pemkab juga berkepentingan untuk mendorong agar praktik baik tersebut semakin meluas. Dengan begitu, sampah yang masuk ke TPA juga akan semakin berkurang.