Lujeng menilai, adanya narasi yang menolak kehadiran pemandu lagu alias purel sebagai sesuatu yang overlaps. Menurutnya, tidak ada regulasi atau aturan manapun yang melarang profesi itu. Karena itu, ia pun meminta agar polemik soal perda hiburan ini didudukkan secara proporsional.
Perda ini, kata dia, menjamin kepastian hukum bagi warga pasuruan untuk bisa bekerja di sektor hiburan, dan kewajiban pemkab mengaturnya. Lujeng menyebut, sepanjang tidak ada aturan hukum yang melarang, tidak ada hak bagi siapapun untuk melarang. Termasuk oleh negara sekalipun.
“Perkara ada dugaan miras dan praktik prostitusi terselubung misalnya, itu kan ada hukum yang mengaturnya sendiri. Tidak bisa dicampur aduk sehingga menjadi tidak fair,” jelas Lujeng.
Anjar Supriyanto, pegiat LSM asal Gempol sepakat dengan inisiatif Pemkab untuk menyusun perda hiburan. Catatannya, perda tersebut tidak memberi ruang terhadap hiburan malam. Atau bahkan prostitusi.
Anjar pun mengkritik usulan sejumlah pengelola warkop plus agar Pemkab segera menyusun perda hiburan. “Mereka pengusul tidak memiliki ijin usaha resmi, bagaimana kemudian mereka mengusulkan Perda Hiburan?” tanya Anjar
Terlepas dari persoalan izin itu, menurut Anjar, kehadiran warkop tersebut cenderung melanggar ketertiban umum. Sebagaimana diatur dalam Perda Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ketertiban Umum.
Sementara itu, Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Pasuruan, Sugiarto mengatakan bila pembahasan raperda hiburan akan dijadwalkan tahun ini.
Sugianto menegaskan, raperda tersebut juga bukan secara khusus membahas karaoke dan LC. Tetapi, sebagai upaya penataan tempat hiburan secara umum. “Sehingga hiburan-hiburan tersebut bermanfaat dan tidak merugikan masyarakat,” ujarnya. (asd)