Oleh: Agus Prianto, MPA*
DISKUSI menarik digelar 6 Januari lalu untuk mengevaluasi kinerja Dr. Ardiyanto yang menjabat sebagai PJ Bupati Pasuruan sejak 24 September 2023. Sebuah posisi yang cukup berat dengan berbagai problem yang ada di Kabupaten Pasuruan. Mulai dari sosial, ekonomi, pendidikan, ekologis hingga agenda reformasi birokrasi.
Mari kita flashback sedikit atas pekerjaan rumah di Kabupaten Pasuruan. Pertama; persoalan kenaikan tingkat kemiskinan sebesar 0,28 persen di Kabupaten Pasuruan pada 2023, hingga persentase pada tahun ini menjadi 9,24 persen dari sebelumnya 8,86 persen pada 2022.
Kedua, Isu ekologi dengan menyisakan Konflik pada area tambang yang banyak wilayah tambang yang justru menyisakan kerusakan ekologi yang berdampak krisis air saat kemarau sebab banyak sumur di wilayah pasuruan selatan kering yang entah disebabkan masifnya industrialisasi dikabupaten pasuruan dan mengesampingkan aspek keberlanjutan lingkungan.
Ketiga, UMK Kabupaten Pasuruan tahun 2024 nomor 4 dengan besaran Rp 4.635.133,00 yang tidak berdampak terhadap IPM Kabupaten Pasuruan yang berada pada nomor 17 se Jawa Timur dan masih rendahnya daya beli masyarakat Pasuruan. Keempat, indeks kinerja pelayanan masyarakat yang masih semu, di tengah berbagai inovasi yang diraih oleh Pemerintah Daerah, belum dirasa berdampak terhadap masyarakat, seperti pelayanan E-Pakladi di tingkat desa masih terkendala persoalan SDM, sarana dan prasarana.
Sekelumit problem di atas, tidak sert merta muncul tahun ini. Tetapi, juga tidak lepas dari peran dan kinerja pemerintah daerah dari tahun ke tahun, dari periode ke periode yang erat kaitan dengan kinerja eksekutif dan legislatif yang seharusya chak and balancing dalam proses kinerja kebijakan sebagai wujud interchange actors (Brinkerhoff, 2002).
Ketika hari ini legislatif menilai kinerja eksekutif belum maksimal, maka pola pikir demikian terjebak pada rationalitas prosedur yang menganggap bahwa selama ini kinerja birokrasi berdasarkan tupoksi dan tujuan dari kebijakan.
Akan tetapi, kita semua menyadari akan peran dari eksekutif dan legislatif adalah pembagian kekuasaan (Montesque) sebagai badan pengawasan dari pelaksanaan kerja pemerintahan.
Namun, ketika problem yang ada di Kabupaten Pasuruan kemudian dilimpahkan pada eksekutif maka hal ini menunjukkan akan kinerja eksekutif dan legislatif sebagai lembaga negara yang tata kerjanya kurang bagus (Mahfud MD, 2007) yang bisa ditengarai sebab adanya keterbatasan contigensi terhadap peran dan kedudukan kedua lembaga negara tersebut, yang kemungkinan besar mendorong adanya system tata pemerintahan yang didasari transaksional.
Menilik kembali akan 100 hari kinerja PJ Bupati sebagai pemimpin Birokrasi di Pemerintah daerah Kabupaten Pasuruan, menjadi prihal umum ketika dievaluasi oleh berbagai elemen masyarakat dan berbagai kalangan untuk melakukan penilaian atas keberhasilan dan perubahan pembangunan dikabupaten pasuruan.
Penilaian 100 hari kepemimpinan sangat tepat ketika penilaian itu didasarkan pada aspek personal pemimpin untuk mampu menjadi inspirasi dan membimbing pada organisasi public yakni Birokrasi. John C. Maxwell (1995), mengajukan gagasan bahwa pemimpin memiliki 100 hari untuk membuat dampak yang signifikan. Ini mencakup kemampuan pemimpin untuk menginspirasi dan membimbing tim, serta menetapkan arah yang jelas.
Artinya bahwa penilaian 100 hari kerja lebih tepat mengukur kapasitas kepemimpinan dari faktor Individu secara psikologis antara fungsi psikis dan fisik apakah pemimpin tersebut memiliki konsentrasi diri tinggi, yang erat kaitan dengan kemampuan dan keahlian, latar belakang , demografi dan faktor psikologis meliputi; persepsi, attitude, personality, pembelajaran dan motivasi yang menentukan upaya kerja (work effort).