Kanigaran (WartaBromo.com) – Harga cabai di pasar tradisional Kota Probolinggo, melambung tinggi dalam 2 pelan terakhir. Selain itu, stoknya pun tak sebanyak sebelumnya.
Pedagang setempat menyebut, berkurangnya stok itu karena petani memilih menjual cabainya ke luar daerah. Hal itu diungkap Dhea, pedagang cabai di bedak tengah Pasar Baru Kota Probolinggo.
Ia menyebut kenaikan harga sudah terjadi sejak dua pekan yang lalu. Semula harga cabai berkisar antara Rp25 sampai Rp30 ribu per kilogram.
Kini harganya mencapai Rp70 sampai Rp80 ribu per kilogram, di pasar besar. Sementara di ‘mlijo’ atau pedagang sayur keliling, bisa mencapai Rp20 ribu per kilogram.
“Dari petani harganya sudah naik, itupun stoknya minim. Mereka lebih banyak jual ke luar daerah. Seperti Jakarta, Surabaya dan kota besar lainnya,” kata Dhea, Kamis (09/11/2023).
Dhea terpaksa kulak cabai seadanya. Padahal sehari biasanya menjual sampai 50 kilogram. Karena harga naik dan stok minim, maka kini hanya bisa menjual setengahnya saja. Kondisi cabai yang ada pun tak terlalu bagus.
“Tidak berani kulak banyak, takut tiba-tiba harga turun. Pelanggan juga mengurangi pembeliannya,” ujarnya.
“Itu untuk harga Probolinggo, lain kalau dijual ke kota besar, bisa lebih. Bahkan ada yang jual di atas harga Rp100 ribu. Makanya banyak petani yang jual ke luar daerah. Kondisi itu, membuat stok cabai lokal berkurang,” sebut wanita berhijab ini.
Sementara itu, kenaikan harga cabai membuat petani bahagia. Kholifah, petani cabai asal Desa Pohsangit Leres, Kecamatan Sumberasih, Kabupaten Probolinggo, mengaku senang dengan harga cabai saat ini.
Sekali panen, ia mampu mengumpulkan minimal 7 kilogram cabai dari kebunnya. Dalam sehari, Kholifah panen dua kali, tiap pagi dan petang.
“Harganya bagus, kadang ada yang jemput di sawah, sekilo bisa laku Rp60 sampai Rp70 ribu. Tidak perlu ke pasar lagi untuk menjualnya,” terangnya.
Cabai yang dibeli dari petani seperti dirinya itu, biasanya memang dijual ke luar daerah. Seperti pasar besar di Malang, Surabaya, bahkan Jakarta.
Kholifah memilih untuk panen sendiri. Tidak mempekerjakan buruh petik. Musim panen kali ini menjadi yang terbaik, selama dirinya melanjutkan profesi ayahnya sebagai petani cabai.
“Sering saya panen lebih awal, takutnya dicuri seperti di desa sebelah,” tandasnya. (lai/saw)