“Awalnya dari wabah covid-19 yang minim penghasilan, warga yang mayoritas sebagai buruh tani ini mencoba untuk membeli alat pembuat tusuk sate. Mulailah, ini saya dan istri memproduksi tusuk sate dan dijual ke pengepul dengan hasil sekitar Rp600 perkilogramnya.”
Laporan : Akhmad Romadoni
JALANAN yang sepi dengan medan yang cukup terjal mewarnai perjalanan wartabromo.com menuju desa terpencil di Kecamatan Kejayan, Kabupaten Pasuruan. Adalah Desa Oro-oro Puleh yang letaknya sekitar 18 KM dari pusat Kota Pasuruan. Tujuannya adalah mengunjungi sebuah desa yang dikenal dengan sebutan “Kampung Tusuk Sate”.
Puluhan warga di Dusun Kalitengah, Desa Oro-oro Puleh sebelumnya dikenal sebagai buruh tani. Namun, hal yang berbeda terlihat saat wabah covid-19 menyerang. Banyak warga di desa tersebut yang terdampak dan sulit mencari penghasilan untuk keluarga.
“Selain tani, saya juga biasa mencari pekerjaan serabutan di luar untuk tambah-tambah penghasilan di rumah,” kata Sugiono (60) sambil melakukan proses pembuatan tusuk sate di depan rumahnya.
Dari sanalah kemudian, muncul beberapa warga yang menawarkan mesin pembuatan tusuk sate seharga Rp3 juta – Rp4 juta perset. Beberapa warga akhirnya memilih untuk membeli mesin tersebut, dengan harapan bisa menambah penghasilan keluarga di tengah wabah covid-19.
“Akhirnya beli, ada tabungan buat beli mesin itu. Itung-itung bisa kerja di rumah bersama istri dan anak saya,” ungkapnya.
Menurutnya, pembuatan tusuk sate sangatlah mudah. Hanya bermodal bambu yang dipotong-potong dengan ukuran kurang lebih 20 centimeter. “Bagi tugas, anak laki-laki saya yang motong bambu, terus saya yang memproses bambu hingga menjadi beberapa potong, setelah itu bagian istri saya yang finishing,” tuturnya.
Keterbatasan penghasilan membuat keluarga Sugiono terus memacu semangat agar dapur terus mengepul. Setiap harinya, Ia bisa membuat kurang lebih 8-10 kilogram tusuk sate. Perkilo tusuk sate berisi 6.000-8.000 tusuk, tergantung jenisnya. Ada jenis tusuk sate kambing dan tusuk sate ayam.
Sedangkan perminggu, Ia bisa mengirim atau menjual tusuk sate kepada pengepul dengan harga Rp8.000 perkilogramnya. “Saya dan istri memproduksi tusuk sate dan dijual ke pengepul dengan hasil sekitar Rp600 ribu perminggunya,” lanjutnya.
Aliyah (50) istri dari Sugiono itu mengatakan, dari pekerjaannya ini, ia bisa menambah penghasilan untuk kebutuhan sehari-hari. Selain kebutuhan dapur, hasilnya juga bisa dibuat untuk membeli perabotan rumah meskipun tak terlalu mahal.
Ibu yang sudah mempunyai 3 cucu ini menyebut, jika rutin dan kerja keras membuat tusuk sate, penghasilan yang didapat juga cukup besar. “Kalau nggak istirahat, sejam bisa bikin 2 kilogram tusuk sate, itu dikerjakan suami, anak dan saya sendiri,” tuturnya.
Sementara itu, Zainul (45), Kasun Kalitengah mengatakan, banyak warga yang kini juga membuat tusuk sate. “Dari 6 RT ini aja sudah ada 40 lebih yang usaha itu,” kata Zainul.
Menurutnya, rata-rata warga yang memproduksi tusuk sate rumahnya berdekatan. Baik itu sesama tetangga, maupun keluarga dekat. “Seperti ini, 3 rumah yang berdekatan semuanya bikin tusuk sate,” tandasnya.
Oleh karenya, Sujai (45), Kepala Desa Ora-ora Puleh berharap agar usaha tusuk sate tersebut semakin berkembang. Selain pasarnya sudah merambah beberapa daerah di Jawa Timur, Ia juga menginginkan kerja sama dari Pemerintah Daerah agar produksi yang dihasilkan semakin banyak.
“Tusuk sate warga ini biasa dilempar ke beberapa pengepul yang dijual ke wilayah Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto dan beberapa daerah lainnya,” tutup Sujai. (may)