Enam manusia mengenakan kaos berwarna putih dan celana cargo pendek berwarna kecoklatan. Mereka digambarkan dalam posisi bersujud, tetapi kepala mereka terbenam—entah di dalam pasir atau tanah atau memang kepala mereka sengaja dihilangkan.
Enam manusia itu terpacak pada lukisan di atas kanvas berukuran 85×100 cm berjudul Perihal Ego karya Bagas Mahendra. Karya Bagas ini, bagi saya pribadi, cukup menyentak ketika baru beberapa langkah masuk ke ruang pameran. Dalam catatannya, Bagas menyebut, “Penggambaran visualisasi manusia bersujud tanpa kepala yang mengartikan kepala sebagai tempat di mana ego pada manusia terbentuk.”.
Oleh: Amal Taufik
Karya ini juga mengingatkan saya akan puisi Subagio Sastrowardoyo:
“Kita tak pernah memiliki
Rumah yang kita diami semusim
telah dituntut kembali
Dan tanah yang kita pijak
makin larut dalam pasang laut
….”
Puisi Subagio barangkali menyiratkan manusia dalam kondisi telanjang. Nol. Segala ambisi, ego, keinginan yang sudah dicapai pada akhirnya makin larut dalam pasang laut dan dituntut kembali. Manusia sejatinya tak pernah memiliki.
Mungkin demikian pula yang ada pada karya Bagas. Sujud menjadi semacam simbol manusia “menghinakan” dirinya. Saat posisi bersujud, manusia meletakkan kepala—tempat asal-muasal segalanya—di atas tanah. Tempat di mana akal pikiran tinggal, diletakkan lebih rendah dari pantat. Dengan kata lain, sikap manusia untuk mau merendah kepada yang lebih besar; kepada sang liyan; kepada yang maha. Kemauan menerima segala yang ada, melepaskan ego, kesombongan akalnya. Kaos putih dan celana kargo yang dikenakan enam manusia dalam lukisan juga seakan menyimbolkan, ketika bersujud, semua manusia setara.
Karya Bagas adalah salah satu lukisan yang dipamerkan di hajatan tahunan “Gandheng Renteng” Komunitas Guru Seni Pasuruan (KGSP). Pada tahun 2022 ini, Gandheng Renteng digelar untuk ke-12 kalinya. Pameran yang menampilkan puluhan karya seniman se-Pasuruan dan Jawa Timur ini berlokasi di Gedung Harmoni yang terletak di Jalan Pahlawan, Kota Pasuruan sejak tanggal 23 hingga 29 Juli 2022.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, tema Gandheng Renteng selalu diwarnai pantun jawa (parikan). Tahun ini, parikan yang menjadi tema Gandheng Renteng adalah “Stasiun Pagere Kawat: Rakyat Rukun Indonesia Kuat”.
Koordinator pameran, Achmad Rosidi mengungkapkan, tema yang diambil ini merupakan interpretasi perayaan berkesenian setelah pandemi Covid-19. Pada masa pandemi kemarin, menurutnya, masyarakat lebih banyak mengisolasi diri. Interaksi dengan teman, tetangga, saudara, terbatas dan dibatasi. Potret masyarakat yang guyub, gotong-royong, dan yang bersifat kebersamaan lainnya jarang terlihat.
“Begitu pula dengan seniman. Jadi ini semacam perayaan seniman setelah pandemi. Keguyuban, kebersamaan inilah yang menjadikan negara kuat,” kata Rosidi.
Ada 60 karya yang dipamerkan di Gandheng Renteng #12 ini. Karya itu terdiri dari karya lukis dan beberapa instalasi. Dari Pasuruan sendiri, 30 seniman berpartisipasi memamerkan karya mereka. Sementara 30 lainnya adalah karya seniman dari sejumlah daerah di Jawa Timur.
Rosidi sendiri pada acara ini memamerkan karya instalasi berjudul Perang Jadi Arang. Ia membuat rangkaian yang terdiri dari tiga senjata mainan yang terbuat dari plastik (dua di antaranya moncongnya leleh), blek kerupuk yang dicat loreng seperti warna pakaian tentara berisi bongkahan arang, lalu di bawah blek tentara itu berceceran bongkahan arang lainnya.
Dari benda-benda yang dipasang, mudah dipahami Rosidi ingin mengajak penikmat seni untuk membicarakan perang. Bongkahan arang yang tercecer di lantai dan yang masih tersimpan di dalam blek tentara itu seakan mengungkapkan bahwa dalam perang, menang atau kalah, akan jadi arang. Saya jadi teringat film Arrival (2016) karya Denis Villeneuve. Pada bagian akhir film, Louise Banks (Amy Adams) mengatakan pendapatnya tentang perang: “In war, there are no winner, only widows.”.
“Saya ingin mengajak penikmat seni berpikir. Setelah perang, yang ada hanya menyesal. Tidak bisakah menyesal di depan? Bisa kok. Ketika manusia lebih dulu memerangi hawa nafsunya, senjata-senjata ini akan meleleh. Melempem seperti kerupuk,” ujar Rosidi.
Selain karya Bagas dan Rosidi, ada lagi karya yang, bagi saya, terasa “dekat”. Karya itu berjudul Belajar untuk Mekar karya Diah Asri Magdevi. Diah melukis di atas kanvas berukuran 90×120 cm.
Ia membuat lukisan surealis tiga manusia duduk di atas daun dan terlihat sedang membuka (atau membaca) buku. Kepala tiga manusia itu adalah bunga yang sedang mekar. Diah juga menambahkan riak-riak dan gelembung, seakan ketiga manusia itu sedang berada di dalam air.
Secara pribadi saya senang menikmati lukisan ini. Simbol buku dan bunga seperti berujar: belajar dan membaca akan menumbuhkan bunga di kepala. Dengan belajar, ide, gagasan, pemikiran, akan mekar dan menumbuhkan kehidupan. Komposisi warna yang dipilih Diah juga menambahkan kesan manis saat menikmati karya ini.
Dari sekian karya yang dipamerkan di Gandheng Renteng #12, Rosidi menilai, karya yang paling menarik adalah karya instalasi milik Agung Tato & Rano Indera K. yang berjudul Dialog Malin Kundang dan Anaknya.
“Dia seperti tidak pernah selesai dengan capaian-capaian sebelumnya. Ia menggoyahkan kemapanan yang ada dalam dirinya. Karya dia sekarang, dia membuat perumpamaan batu dengan narasi Malin Kundang,” kata dia.
Rosidi menyebut, karya-karya, khususnya karya seniman Pasuruan, yang dipamerkan di Gandheng Renteng #12 ini secara kualitas makin bagus. Meski ada beberapa karya yang menurut dia belum memberikan “kejutan”, tetapi sebagian besar seniman Pasuruan terus berkembang dari tahun ke tahun.
Di lain sisi, para penikmat seni di Pasuruan juga makin berkembang. Ini bisa terlihat dari antusiasme warga yang datang ke pameran sejak hari pertama digelar. Tak kurang dari ratusan penikmat seni datang untuk menikmati pameran Gandheng Renteng #12. Antrean masuk ke dalam gedung pun sangat panjang, bahkan mencapai lebih dari 10 meter. Kualitas penikmat seni pun, kata Rosidi, juga makin baik.
Ke depan, ia berharap para seniman di Pasuruan agar tidak pernah lelah untuk belajar dan mengembangkan diri. Ada banyak hal di lingkungan yang bisa ditangkap dan diolah untuk kemudian diwujudkan dalam bentuk karya. Eksperimen dan kebaruan karya diharapkan setiap tahun bisa muncul.
“Pemerintah mulai sekarang juga sudah terbuka. Mulai menampung para seniman. Karena mungkin mereka tahu kalau perupa di Pasuruan benar-benar memiliki kualitas,” pungkas Rosidi. (yog)