Harry mengemukakan, konservasi tanah dan air menjadi hal yang wajib dilakukan guna menjamin ketersediaan air di masa depan mutlak dilakukan. Masalahnya, siapa yang melakukan, acapkali menjadi pertanyaan.
Pasal 7 Undang-Undang Konservasi Tanah dan Air (KTA) Nomor 37 Tahun 2014 disebutkan, Pemerintah, Pemda serta pemegang hak atas tanah, pemegang izin, pengguna lahan, bertanggung jawab dalam konservasi tanah dan air, wajib mengikuti prinsip konservasi dan menghormati hak milik setiap orang.
Akan tetapi, bagiaimana pelaksanaan di lapangan dari aturan itu, tak pernah jelas. Termasuk berapa kontribusi masing-masing pihak.
Yang jamak terjadi, masing-masing pihak justru saling lempar tanggung jawab. “Pemda menyebut pemerintah pusat, pusat menyebut daerah, pemilik lahan bilang tanggung jawab pemerintah. Begitu seterusnya, selama ini itu yang terjadi,” jelas Harry.
Kembali pada persoalan DAS, dikatakan Harry, perlu adanya interelasi untuk mengelolanya. Interelasi diperlukan untuk mengartikulasikan water resources manajemen oleh para pihak. Karena bicara DAS, lebih dimaksudkan sebagai bagian dari manajemen tata kelola air untuk kepentingan bersama.
Secara teori, pengelolaan DAS dalam konsep one river, one manajemen memang cukup ideal. Akan tetapi, ego sektoral para pihak kerap menjadikan pelaksanaan di lapangan tak sesuai harapan. Inilah pentingnya membuat perencanaan dari masing-masing pihak untuk mencapai tujuan bersama.
Harry ingat betul. Tahun 1980-an, Jawa menjadi satu-satunya wilayah di Indonesia yang dilanda banjir. Akan tetapi, saat ini kondisinya berbeda. Hampir semua wilayah di Indonesia, mulai dari Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara hingga Papua, kini “akrab” dengan banjir. Bahkan, dengan skala besar yang tak jarang merenggut korban jiwa. Hal itu mengindikasikan bahwa ada yang salah dengan pengelolaan lingkungan, terutama DAS. (*)