Laporan: Asad Asnawi
PERUBAHAN iklim akibat pemanasan global telah memberi dampak buruk di berbagai negara belahan dunia. Termasuk Indonesia. Negara kepulauan ini bahkan diprediksi akan menanggung kerugian hingga Rp 115 triliun di 2024 mendatang. Data terbaru bahkan mencapai Rp544 triliun.
Hal itu disampaikan pengurus pusat Masyarakat Konservasi Tanah dan Air (MKTA) Harry Satoso beberapa waktu lalu.
Harry yang juga anggota dewan pakar forum daerah aliran sungai nasional (Fordasnas) menyebutkan, potensi kerugian itu akan didapat jika pemerintah tidak melakukan intervensi apapun menyikapi dampak perubahan iklim belakangan ini.
“Sebaliknya, dengan intervensi kebijakan yang dilakukan pemerintah, maka potensi kehilangan ekonomi dapat ditekan. Dari Rp 115 triliun menjadi Rp 57 triliun di 2024 mendatang. Artinya, dari studi yang dilakukan Bappenas, potensi economic loss tetap ada. Tapi, setidaknya bisa ditekan,” ungkap Harry dalam kegiatan yang diikuti 400 peserta lebih itu.
Pemerintah sendiri dikatakan Harry menjadikan valuasi ekonomi pada empat sektor prioritas sebagai alat ukur untuk menakar potensi kerugian tersebut. Keempat sektor dimaksud adalah air, kesehatan, kelautan perikanan dan pertanian. Hasilnya, potensi PDB yang hilang bisa mencapai 50, 4 persen bila tak ada intervensi apapun terkait dampak pemanasan global tersebut.
Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) sendiri telah menerbitkan dokumen kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI). Merujuk Perpres Nomor 18 Tahun 2020, PBI masuk sebagai salah satu prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
“Dalam RPJMN 2020-2024, peningkatan ketahanan iklim ditargetkan dapat mengurangi potensi kerugian ekonomi dari dampak perubahan iklim sebesar 1,15 persen PDB pada 2024. Kebijakan pembangunan berketahanan iklim merupakan implementasi dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs), Low Carbon and Climate Resilience Strategy, Sendai Framework, dan pemenuhan target Paris Agreement,” kata Menteri PPN/Bappenas, Suharso Monoarfa, sebagaimana dikutip dari situs Bappenas.
Dijelaskan Suharso, ada enam serial buku yang diterbitkan berkaitan dengan dokumen kebijakan PBI. Meliputi (1) Lokasi Prioritas dan Daftar Aksi Ketahanan Iklim; (2) Kelembagaan Pusat dan Daerah; (3) Peran Lembaga Non Pemerintah dalam Ketahanan Iklim; (4) Sumber-sumber Pendanaan untuk Mendukung Rencana dan Aksi Ketahanan Iklim; (5) Mekanisme Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan; dan (6) Buku Ringkasan Eksekutif PBI.
Suharso menyebutkan, ketahanan iklim menjadi sangat penting karena Indonesia terletak pada garis ekuator dan diapit dua samudera. Dengan demikian, pola iklim yang berlangsung berjalan dinamis, yaitu yang berlangsung cepat (rapid onset) dan dalam kurun waktu yang relatif panjang (slow onset). Selain kerugian fisik dan material, perubahan iklim berpotensi menyebabkan hilangnya mata pencaharian masyarakat.
Anggota Dewan Pakar Forum DAS Nasional Harry Santoso mengemukakan, sebagai negara kepulauan, Indonesia menjadi salah satu negara yang paling terdampak akibat perubahan iklim ini. Bahkan, pulau-pulau kecil diprediksi akan tenggelam sebagai dampak meningkatnya muka air laut.
Tren meningkatnya bencana hidrometeorologi dalam beberapa tahun belakangan menjadi indikator paling nyata betapa situasi ini membutuhkan penanganan segera.
Merujuk data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sepanjang 2010-2018, tercatat 6.737 peristiwa banjir terjadi. Disusul puting beliung sebanyak 5.744 kejadian; 4.474 tanah longsor; 754 kekeringan dan 207 gelombang pasang atau abrasi. Sementara pada Mei 2021 lalu, tercatat 723 peristiwa bencana terjadi.