Hal itu disampaikan Direktur Pusat Studi dan Advokasi Kebijakan (Pus@ka) Lujeng Sudarto. “Termasuk dalam transparansi itu adalah data perusahaan,” katanya. Sebab, hampir semua produk rokok ilegal tidak mencantumkan lokasi dimana produk itu dibuat.
Menurut Lujeng, upaya pemberantasan rokok ilegal harus dimulai dari ketersediaan data tersebut. Sebab, selama ini, masyarakat tidak pernah tahu berapa jumlah perusahaan rokok berikut mereknya yang ada di daerah.
“Padahal, ini penting. Karena dengan data itu, masyarakat juga dapat membantu melakukan pengawasan,” terangnya. Yang terjadi, lanjut Lujeng, meski di sebuah lokasi terdapat usaha rokok, warga sekitar justru tidak tahu nama perusahaan berikut rokok yang dibuatnya.
“Karena selain pabrikan besar, hampir semua perusahaan rokok kecil tidak ada papan namanya,” tukas Lujeng
Penuturan tersebut bisa jadi ada benarnya. Selama ini, ketersediaan data menjadi salah satu persoalan pemberantasan rokok ilegal. Data perusahaan yang dipublikasikan pihak Bea Cukai kerap tidak sesuai dengan temuan di lapangan.
Bahkan, beberapa perusahaan rokok yang sudah tidak aktif, pada website masih tercatat sebagai perusahaan pengguna jasa Bea Cukai. “Dan, yang seperti ini, sangat mungkin perusahaan bersangkutan dapat pita cukai, tapi kemudian dipindahtangankan ke perusahaan lain,” jelas Lujeng. (*)