Saat pertama kali mencoba jaringan PLN di lahan pertaniannya, ia meletakkan beberapa lampu UV di tengah sawah. Bukan di pematang. Rupanya hal ini menjadi masalah. Banyak Keper jatuh tidak hanya di ember. Banyak juga yang masih hidup dan jatuh di tanaman bawangnya.
Dengan demikian, saat Keper belum mati, mereka masih bisa bertelur. Setelah melalui proses metamorfosis, telur itupun berkembang menjadi ulat grayah kecil yang menggerogoti tanaman bawang miliknya.
“Hancur, Pak. Saya rugi Rp 20 jutaan waktu itu. Berdasarkan pengalaman itu, saya kemudian meletakkan lampu UV di pematang sawah. Sehingga, pada saat hama jatuh tidak di ember, maka masih terhalang di pematang,” cetusnya.
Pengalaman memang menjadi guru yang terbaik. Sejak saat itu, pria kelahiran 12 Oktober 1974 ini, kemudian kerap mendapat sentuhan dari PLN. Mulai sosialisasi maupun penyuluhan akan pentingnya penerangan lampu di lahan bawang agar bisa mendapat cuan lebih.
Sebagai Ketua Kelompok Tani “Jaya Utama”, Ica harus mampu meyakinkan anggotanya. Termasuk dalam upaya menekan biaya produksi serta meningkatkan hasil panen. Bisa panen antara 4-5 kali dalam setahun.
Dalam upaya menekan biaya produksi, Ica dan petani lainnya berusaha menghitung. Apalagi di masa pandemi Covid-19. Modal mereka pas-pasan. Jika panen gagal, bisa mengganggu keuangan keluarga.
Selama ini, banyak petani bawang yang susah lepas dari jaring. Bahkan sudah memjadi “budaya” bertahun-tahun. Padahal untuk satu iring lahan, biaya sewanya sekitar Rp 8 juta per musim. Satu musim panen bawang biasanya butuh waktu kurang lebih dua bulan.
Sementara jika memakai jasa PLN, biayanya mampu ditekan sangat signifikan. Untuk satu musim panen, petani hanya mengeluarkan biaya listrik sekitar Rp 600 ribu. Sehingga, efisiensi atau penghematan biaya petani per musim bisa mencapai Rp 7,4 juta. Wow!
Ini tentu menjadi langkah fantastis dalam bidang teknologi listrik untuk pertanian (electrifying agriculture). Apalagi saat petani bawang menghadapi musim pandemi Covid-19 seperti saat ini. Tentu, petani akan berhitung dengan cermat.
Selain untuk jasa penerangan sawah, Ica memanfaatkan aliran listrik berdaya 6.600 VA itu untuk kebutuhan pengairan. Terutama ketika musim kemarau yang jatuh pada bulan ke-enam (Juni) dan seterusnya. Bersama kelompok petani, Ica juga sudah membangun rumah pompa listrik di Desa Pondok Kelor. Rumah pompa ini sering digunakan petani ketika musim kemarau tiba.
“Kalau dihitung, tentu sangat mudah dan murah pakai PLN. Kualitas dan kuantitas bawang merahnya hampir sama,” kata petani yang pernah mengenyam perkuliahan di Unmer Malang ini.
Hal senada juga diakui Saiful. Petani bawang asal Desa Sekarkare, Kecamatan Dringu Kabupaten Probolinggo. Dilihat dari biaya, Saiful sepakat jika memakai lampu PLN lebih murah dibanding dengan sewa jaring. “Kalau dihitung, jelas lebih murah pakai lampu (PLN),” katanya.
Hanya saja, ia mengakui jika saat ini sawahnya masih ditanami lombok dan jagung. Sehingga, masih belum membutuhkan lampu. “Nanti baru bulan dua (Februari), kita pasang lampu lagi untuk tanam bawang. Agar bisa menekan biaya produksi kita,” tegas petani yang juga menjabat Sekdes ini.