Pemanfaatan setrum PLN dinilai lebih efektif mencegah serangan hama pada pertanian bawang di Kabupaten Probolinggo. Tak hanya itu. Para petani pun jauh lebih untung. Kok bisa?
Oleh: Muhammad Hidayat
SEMILIR angin malam dari pantai Utara Paiton, Kabupaten Probolinggo mulai terasa. Saat itu, jarum jam pada Jumat malam (24/12) itu sudah menunjukkan pukul 20.00 WIB. Waktu dimana warga mulai beranjak ke peraduan.
Tapi, tidak dengan para petani bawang di Kabupaten Probolinggo ini. Jam-jam seperti itu justru menjadi saat yang sibuk bagi mereka untuk mengunjungi lahan bawangnya tanpa rasa takut. Toh di bawah guyuran sinar lampu yang terang, mereka masih bisa mengawasi.
Ya, sinar lampu pijar itu berasal dari LED dan UV. Lampu-lampu itu dipasang di atas puluhan tiang bambu. Berjajar rapi. Lampu LED dipasang diatas bambu setinggi 2,5 meter. Sementara lampu Ultra Violet (UV) dipasang lebih dekat dengan tanah. Hanya setinggi 1 meter.
Di bawah lampu UV itu, para petani meletakkan ember atau bak plastik. Ember itu diisi air yang dicampur dengan oli atau solar. Lampu tersebut digunakan sebagai perangkap/jebakan (light trap). Hal ini agar hama tanaman atau kupu-kupu putih (istilah petani; Keper) bisa mati dan tak bertelur lagi.
Dari bibir jalan raya, jurnalis media ini melihat sosok pria paro baya. Dia tampak sibuk merawat tanaman bawang merah. Sesekali dia membersihkan lampu UV. Termasuk ember yang sudah mulai dipenuhi hama Keper. Bahkan, terlihat juga hama sejenis Merutu dan Angge.
Setelah berkenalan, pria paro baya itu bernama Ahmad Qusairi, 47 tahun. Pria asal Desa Pondok Kelor Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo. Qusairi memiliki 2 hektar lahan sawah. Terbagi dalam beberapa petak. Sebagian ada di Desa Pondok Kelor. Sebagian lainnya di wilayah Desa Sumberanyar, berdekatan dengan pantai dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Paiton.
Di areal pertanian bawang merah tersebut, Qusairi tampak sibuk bersama beberapa petani lain. Satu di antara petani tersebut memakai topi berlogo PLN. Malam itu, mereka tampak sibuk memperhatikan tanaman bawangnya. Ada yang mendekati lampu UV dan LED. Ada juga yang mencabuti beberapa tanaman penganggu (gulma).
“Bapak-bapak bisa lihat sendiri. Setiap malam, hama-hama ini menempel di lampu UV dan jatuh ke ember ini,” ujar Ahmad Qusyairi yang kala itu didampingi Rohyit dan Selamet, petani lainnya.
Saat melihat sawah di malam hari, beberapa titik tampak bersinar terang. Ini karena jarak antar tiang bambu yang terpasang LED dibuat lebih rapat. Sekitar 5 – 6 meter. Untuk satu iring lahan rata-rata membutuhkan bola lampu sebanyak 30 – 40 unit LED. Di kalangan petani, ukuran satu iring lahan sama dengan sepertiga hektar atau 3.300 meter persegi.
Bola lampu LED biasanya dipasang di pinggir gantangan dan tengah sawah secara memanjang. Sementara untuk lampu UV dipasang di gantangan tengah atau pematang sawah saja. Oleh karena itu, jumlahnya tidak terlalu banyak. Hanya kisaran 7-10 unit.
Agar listrik bisa menyala, pihak PLN menyambungkan instalasi dengan satu boks meteran (begeser). Kebetulan meteran ini berdekatan dengan kabel besar PLN yang berada di pinggir jalan raya Sumberanyar, Paiton.
Di kalangan petani, Ahmad Qusairi lebih familiar disapa Pak Mad atau Pak Ica. Saat bertemu jurnalis media ini, Ica sempat bercerita banyak hal. Termasuk soal pengalaman pahit yang pernah ia alami.