Harapan itu rupanya disambut baik oleh Astra. Tahun 2019 Astra memberikan bantuan modal kepada pesantren yang kemudian dirupakan bibit porang. Bibit porang itu kemudian dibagikan secara gratis kepada 35 mitra pesantren yang terdiri dari masyarakat, petani, dan sebagian lagi guru pesantren sendiri.
Skema kerja samanya, nanti ketika bibit-bibit itu sudah panen, petani akan menjualnya ke pesantren dan setelah itu oleh pesantren dijual lagi ke pabrik. Progres kerja sama seperti ini berjalan baik. Saat panen pertama, porang yang dihasilkan hampir mencapai 100 ton.
“Kalau dulu harga Rp10 ribu per kilogram kita beli ke petani. Kita jualnya nanti selisih sedikit. Misalnya kita kirim 1 rit truk kapasitasnya 9 ton porang, berarti kita bayarnya Rp90 juta ke petani,” kata Sukarno.
Ketika musim panen, pesantren bisa mengirim 2 sampai 3 rit truk setiap hari. Musim panen tahun 2020 kemarin, pesantren mengirim 10 rit truk porang. Jika 1 rit kapasitasnya 9 ton dan harga per kilogramnya Rp10 ribu, maka sudah ada transaksi sebesar Rp900 juta antara pesantren dengan puluhan mitra mereka.
“Dampaknya luar biasa bagi masyarakat. Orang sini bisa beli mobil dari porang ini banyak. Sekarang bayangkan sendiri, orang satu bisa dapat 2 rit truk. Berarti kan dia jual 18 ton,” ujarnya.
Tahun 2021 ini, kata Sukarno, harga porang turun menjadi Rp5 ribu per kilogram. Cukup anjlok dibanding tahun lalu.Tetapi menurut Sukarno dengan harga segitu, petani-petani yang jadi mitranya masih bisa meraup laba. Sebab ketika menanam, petani sudah tidak perlu membeli bibit.
Baginya, menjadi mitra Astra sangat memberikan dampak positif terhadap perkembangan pesantren, para guru, dan petani di Ngrayun. Ia yang seorang santri medhok kerap mendapat kesempatan untuk mengikuti pelatihan dan bimbingan dari Astra. Hal itu akhirnya memperluas cakrawala pemikirannya dalam mengelola pesantren secara mandiri.
“Kita ini kan asli santri. Bisa dibilang mindset dalam mengelola pesantren ya kolot sebenarnya. Maka dengan adanya CSR Astra cukup membuka mindset kita, bahwa pengembangan ekonomi dan kemandiran pesantren itu wajib dan mutlak. Itulah yang sekarang kita ikhtiarkan,” tandas Sukarno.
Hasil berbisnis porang yang telah berjalan selama dua tahun memang belum cukup untuk mensubsidi seluruh kebutuhan operasional pesantren. Akan tetapi, setidaknya, porang mampu membantu meningkatkan kesejahteraan guru pesantren.
Pasalnya sampai dengan hari ini, Pesantren Minhajul Muna tak pernah menarik SPP kepada para santri. Sukarno sendiri yang merupakan alumni pertama Pesantren Minhajul Muna mengungkapkan, sejak zaman dia masih nyantri, pesantren tak pernah membebankan biaya apapun kepada santri-santrinya, kecuali biaya ujian-ujian tertentu.
Sekarang pun para santri hanya diwajibkan membayar biaya Rp200 ribu untuk biaya hidup selama sebulan. Jumlah itu sudah termasuk uang makan 3 kali sehari setiap hari. Santri yang tinggal di Pesantren Minhajul Muna saat ini berjumlah 170 orang dan memiliki guru sebanyak 35 orang.
Guru-guru di Pesantren Minhajul Muna memang digaji setiap bulan. Namun kata Sukarno, “Itu hanya cukup buat bensin saja. Jadi mereka di luar aktivitas guru, mereka juga bertani. Ada atau tidak ada porang mereka bertani. Kalau tidak begitu tidak jalan. Ya bagaimana, modal kuat kita mengajar di sini ikhlas lillahita’ala.”
Beberapa guru pun akhirnya dilibatkan dalam kemitraan pesantren. Mereka diberi bibit porang agar dikelola sendiri di rumahnya. Hasilnya lumayan. Mereka bisa menjual umbi porang, katak porang, ke pesantren dan ketika hendak menanam lagi, mereka tak perlu lagi membeli bibit.