HAM yang Masih Disepelekan

5158
“Demokrasi sendiri dapat terlaksana apabila HAM ditegakkan.”

Oleh: Vivi Aisalwa Zuhrah*

INDONESIA menasbihkan diri sebagai negara demokrasi. Namun demikian, Indonesia memiliki catatan buruk dalam indeks demokrasi dunia. Berdasarkan laporan The Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia menduduki peringkat ke 64 dari 167 negara di dunia. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia berada dalam kategori demokrasi cacat.

Pada tahun 2020 kemarin Indonesia mendapatkan skor 6,3 dari sebelumnya yaitu 6,48 dengan peringkat yang sama. Ini merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute, Karyono Wibowo, mengatakan bahwa laporan ini harusnya menjadi cambuk bagi pemerintah Indonesia untuk memperbaiki pelaksanaan demokrasi.

Demokrasi sendiri dapat terlaksana apabila HAM ditegakkan. Hal tersebut sebagai salah satu indikator untuk menilai demokrasi.

Indonesia sendiri sudah mengeluarkan jaminan kebebasan HAM yang diatur dalam konstitusi. Hak asasi manusia dalam UUD 1945 yang diatur dalam Pasal 28A-J. Selain itu, HAM turut diatur dalam pasal 27 hingga pasal 34.

Tetapi dengan adanya pasal tentang HAM, tidak membuat isi dari pasal tersebut bisa dipahami warga negara Indonesia. Padahal, sejak sekolah sudah diajari mengenai hal tersebut. Terbukti dari banyaknya kasus HAM yang terjadi setiap tahun.

Berdasarkan data yang tercatat pada tahun 2020, Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Demanik mengatakan pihaknya menerima 2.841 kasus HAM. Jumlah kasus terbanyak yang  diadukan adalah hak atas kesejahteraan yakni 1.025 kasus. Kemudian hak atas keadilan, 887 kasus; dan hak atas rasa aman, 179 kasus.

Dari sekian banyaknya kasus pelanggaran HAM, salah satunya pelanggaran HAM yang terjadi pada tanggal 26 Maret 2015. Yaitu mengenai kasus pembunuhan Akseyna Ahad Dori, yang ditemukan dalam kondisi tak bernyawa di Danau Kenanga, Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat.

Akseyna Ahad Dori. Foto: Dok Istimewa.

Kasus yang awalnya diduga sebagai sebuah percobaan bunuh diri berubah menjadi kasus pembunuhan karena adanya kejanggalan pada hasil bukti yang tersedia.

Mulai dari teman korban yang melihat korban terakhir kali tanggal 23 Maret 2015. Lalu ada hasil dari grafolog mengenai surat korban yang dianggap sebagai surat wasiat. Namun, terdapat tulisan orang lain juga di surat tersebut. Surat ini dianggap perbuatan pelaku untuk memperkuat bahwa korban melakukan bunuh diri.

Selain itu ada pula hasil visum yang mengatakan korban tidak sadarkan diri sebelum dicemplungkan ke danau. Sebab, hasil visum menunjukkan terdapat air dan pasir di dalam paru-paru korban. Ada pula robekan dibagian tumit sepatu yang memperkuat korban telah diseret sebelum benar-benar dicemplungkan ke danau. Tinggi danau juga termasuk dangkal untuk dijadikan tempat bunuh diri.

Kasus ini termasuk kasus yang susah dipecahkan. Sebab sejak awalnya dianggap sebagai kasus bunuh diri. Sehingga TKP yaitu kos korban sudah dirusak karena didatangi banyak orang. Apalagi polisi juga terlambat memasang garisnya.

Hingga sekarang, setelah 6 tahun kasus tersebut terangkat, tidak ada penemuan pelaku pembunuhan dan hanya dugaan dari pihak kepolisian. Media juga mengatakan kejelasan dari kasus tersebut hanya diketahui oleh pelaku-pelaku yang membunuh korban.

Kasus tersebut menjadi sebuah gambaran bahwa Indonesia masih belum memahami arti penting dibalik sebuah hak asasi manusia yang sudah didapat sejak mereka lahir. Hanya karena kepentingan ego dan amarah sekejap, bukan berarti kita bisa melakukan apapun yang kita suka hingga meregang nyawa orang lain.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.