Oleh: Asad Asnawi*
SUATU ketika, Umar bin Khattab, salah satu sahabat Nabi ketika menjadi pemimpin keluar rumah malam-malam. Sengaja ia berkeliling untuk melihat kondisi warganya dari dekat. Sampai suatu ketika, ia mendapati satu keluarga dengan beberapa anak dilanda kelaparan. Tubuhnya kering kerontang karena kurang asupan makanan.
Melihat itu, Umar bergegas pulang menuju gudang makanan milik pemerintah. Di sana, Umar mengambil beberapa karung makanan untuk diberikan kepada keluarga tadi dengan cara memanggulnya.
Tak tega melihat itu, seorang sahabat menawarkan diri untuk memanggul karung makanan di pundak Umar. Tetapi, Umar menolaknya.
“Apa kamu sanggup menggantikan bebanku di akhirat nanti karena telah abai dan membiarkan rakyatku kelaparan?” jawab Umar merespons tawaran sahabatnya itu. Sang sahabat pun akhirnya terdiam.
Beberapa saat berjalan, Umar pun akhirnya sampai di rumah keluarga yang tadi. Sembari menyerahkan karung makanan yang dibawanya, Umar berpesan agar memaafkan ‘Umar’ yang tak lain dirinya sendiri. Tetapi, keluarga tadi terlanjur kecewa. Ia ngedumel gak karuan tentang Umar yang dinilainya sebagai pemimpin tak adil. Ia sama sekali tak menyadari bila pemimpin yang dicacinya itu tengah berdiri di depannya.
Mendengar cacian itu, Umar tak marah. Dengan perasaan sedih, ia kembali pulang untuk bertafakur.
***
Tapi, itu dulu. Lebih dari seribu tahun lalu. Sekarang, tidak lagi. Sekarang ini, menjadi pejabat terasa lebih enak. Bergaji besar, punya kehormatan, punya hegemoni dan ditakuti.
Dan seandainya saya menjadi pejabat, saya punya banyak alat dan perangkat untuk mewujudkan apa yang saya ingin. Soal kritik? Abaikan saja.
Anggap saja kritik sebagai angin lalu. Masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. Jika pun kritiknya berlebihan, saya bisa menjeratnya dengan pencemaran nama baik.
Atau kalau mau lebih elegan lagi, saya cukup menyiapkan bujet untuk membungkam para pengkritik itu. Modusnya macam-macam. Bisa lewat dana hibah untuk program A, B, C, dan semacamnya.
Dengan cara seperti itu, lambat laut, suara sumbang para pengkritik akan senyap dengan sendirinya. Sembari itu, saya terus membangun citra baik, royal terhadap relasi
Citra itu bisa saya bangun lewat berbagai cara. Memanfaatkan para buzzer, membentuk relawan, atau memasang iklan di media. Semua kegiatan seremoni, bhakti sosial iklankan. Dengan begitu, media juga akan kehilangan daya kritisnya.
Sambil lalu, saya juga terus membangun pengaruh dan merawat conflict of interest, seperti yang diajarkan Machiavelli. Saya tidak akan melewatkan ketika diundang kelompok-kelompok tertentu. Apalagi tokoh yang punya basis massa. Pengajian-pengajian saya datangi. Tokoh-tokoh agama saya dekati. Tentu, tak sekadar datang. Ada juga amplop sumbangan yang saya siapkan.
Dengan begitu, orang-orang akan mengira bahwa saya pejabat yang baik, dermawan. Seolah-olah duit yang saya sumbangkan adalah uang pribadi. Padahal, duit itu berasal dari pos dana hibah yang sudah dianggarkan sebelumnya kwkkwkwkw.
Kalau pun ada yang dari rekening pribadi, juga tidak dalam arti sebenarnya. Karena duit itu berasal dari upeti, fee proyek atau dari bonus dagangan jabatan. Tidak ada makan siang gratis. Jika masih bisa “diuangkan”, saya lakukan.
Memikirkan rakyat? Itu nanti saja. Mereka tak akan peduli. Asal masih bisa makan, mereka tak akan protes. Tak peduli kemiskinan naik, pengangguran bertambah, gizi buruk meningkat, rakyat tak akan berpikir sejauh itu.
Begitu enaknya menjadi pejabat saat ini. Karena itu saya pun tak rela melepaskannya begitu saja. Biar pun secara undang-undang kepemimpinan saya dibatasi hanya dua periode, paling tidak pengganti saya adalah orang-orang yang bisa saya kendalikan. Terutama keluarga saya.