Fabby menjelaskan, melimpahnya sumber energi terbarukan bukan hanya membuka peluang Indonesia untuk lebih cepat mewujudkan zero emisi. Tetapi, juga mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih masif dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Hasil kajian yang dilakukan IESR menyimpulkan, transformasi sistem energi akan membuka peluang investasi hingga USD 20-25 miliar per tahun dan akan terus meningkat hingga USD 60 miliar di 2040. Angka itu jauh lebih tinggi dibanding rerata investasi energi terbarukan saat ini yang hanya sebesar USD 2 miliar per tahun.
IESR memperkirakan, investasi solar PV (termasuk rooftop solar PV) akan menjadi yang tertinggi sekitar USD 2-7 miliar per tahun selama sepuluh tahun ke depan. Terlebih, hal ini juga didukung aturan baru ESDM terkait peluang ekspor listrik ke PLN 100 persen.
Fabby menegaskan, dengan investasi sebesar itu, ada banyak lapangan pekerjaan yang dibuka. Bahkan, menurutnya, lebih dari 800 ribu pekerjaan baru tercipta pada 2030 dan lebih dari 3,2 juta di 2050 nanti. “Dan, satu-satunya yang dibutuhkan untuk mewujudkannya adalah komitmen pemerintah dan juga terciptanya iklim investasi yang baik,” jelas Fabby.
Penuturan serupa disampaika anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha. Ia mengatakan, pandemi yang terjadi saat ini seyogyanya mampu dimanfaatkan pemerintah untuk mendorong peningkatan bauran energi terbarukan. Terlebih lagi, tren investasi global pada industri migas mengalami penurunan semenjak pandemi. Bahkan, yang terendah sejak 2016 lalu.
Selain karena pandemi, menguatnya desakan penggunaan energi terbarukan memberi tekanan tersendiri bagi industri migas saat ini. Karena itu, pihaknya pun mendorong agar sektor energi ramah juga terus ditingkatkan. Terlebih, Indonesia termasuk negara yang telah meratifikasi Paris Agreement.
“Inilah yang harus terus didorong. Penggunaan energi fosil harus dibarengi dengan penerapan teknologi yang ramah lingkungan,” jelas Satya.
Satya mengatakan, untuk menggairahkan investasi sektor energi, pemerintah perlu menata ulang skema fiskal dalam rangka pemberian insentif. Ia bilang, pemberian insentif tidak hanya efektif merangsang industri energi, tetapi, juga mengurangi defisit neraca perdagangan.
Yang lebih penting lagi, terang Satya, adalah multiple effect dari invetasi yang digelontorkan. Pada sektor industri hulu migas misalnya, dari USD 1 juta pembelanjaan hulu migas , multiple effect yang dihasilkan mencapai USD 1, 5 juta, ‘Mampu menambah GDP hingga USD 0, 75 juta, dan berpeluang menambah lapangan pekerjaan untuk 100 orang,” pungkas Satya. (*)