Meniti karir sebagai birokrat kolonial namun juga memendam cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Laporan: Miftahul Ulum
BISA dibilang, RAA. Soejono memiliki karir yang cukup moncer dalam birokrasi kolonial. Namun demikian, hal ini tak membuatnya lupa daratan. Ia tetap memiliki nasionalisme yang tinggi. Bahkan, saat ia menjadi anggota Volksraad, yang notabene semacam DPR, tapi ditunjuk oleh Belanda.
Saat menjabat sebagai Volksraad, Soejono memanfaatkan betul jabatan tersebut. Nasib pribumi di bawah jajahan Belanda menjadi basis perjuangannya di Volksraad.
Soetardjo, salah satu anggota Volksraad yang terkenal dengan Petisi Soetardjo, menyebut Seojono dalam petisinya yang menggegerkan Hindia Belanda. Soetardjo mengungkapkan, pada tahun 1931, Soejono selaku pemimpin Kelompok Pemikir Bebas, menegaskan gagasan kemerdekaan Indonesia dalam forum Volksraad.
“Kelompok Pemikir Bebas, melalui pemimpinnya RAA Soejono, yang saat ini menjadi anggota Komisi Karet Internasional Indonesia, telah menyatakan diri mendukung Indonesia sebagai persatuan nasional yang independen secara politik dengan Kerajaan Belanda, setara dengan semua negara lain dari Kerajaan Dunia ini,” sebut Soetardjo dalam petisinya tahun 1937.
Namun, gaung kemerdekaan itu masih belia. Belum menjadi spirit bersama sebuah bangsa yang terjajah. Soetardjo menuliskan, bahwa langkah tersebut gagal.
“Namun sia-sia! Dan jika pada saat itu masih banyak yang mengira, bahwa Belanda akan memenuhi janjinya pada waktunya, harapan dan harapan ini segera pupus,” tulisnya pesimis menilai niat Belanda memberi kemerdekaan Indonesia.
Dalam majalah propaganda Sosdem di Belanda, Soejono disebutkan sebagai sosok progresif yang berhaluan kiri (sosialis demokratis).
Oliver Sydney dalam majalah International Sociaal Democratische Koloniale Politiek, menjelaskan kondisi pergerakan nasional di Hindia Belanda terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok kooperatif dan non-kooperatif.
Soejono, adalah salah satu dari sekian tokoh pergerakan yang memilih jalan kooperatif dengan masuk ke dalam sistem kolonial menjadi anggota Volksraad.
Di dalam volksraad, mereka memperjuangkan jumlah anggota Volksraad dari perwakilan pribumi, dari yang berjumlah 25 orang menjadi 30 orang dari 60 jumlah anggota Volksraad. Meskipun, dirinya tidak secara radikal menginginkan Hindia Belanda harus terpisah dengan Belanda.
“Dalam hubungan ini tidak boleh diabaikan, bahwa kaum nasionalis yang sangat berhaluan kiri dalam arti demokratis, seperti misalnya anggota Volksraad Soejono dalam Volksraad tahun 1927, dinyatakan dengan bahasa yang sederhana bahwa untuk saat ini dia tidak ada hubungannya dengan ‘Hindia terpisah dari Belanda’,” ungkap Oliver.
Di luar sikap politiknya yang lunak terhadap Belanda, Soejono terus melejit dalam karirnya sebagai aparatur kolonial. Tahun 1930, sebagai ambtenar Hindia Belanda, ia mengikuti ujian pegawai besar di Belanda. Ia adalah salah satu dari sedikit pegawai yang lolos ujian kepegawaian di Belanda. Salah satu surat kabar di Belanda, “Rotterdamsch Nieuwsblad” mewartakan, ia bersama keluarganya, termasuk istri dan 4 anaknya sudah tiba di Den Haag, Ibukota Belanda. Ia baru saja lulus dari ujian groot-ambtenaarexamen.
“Dia adalah mantan Bupati Pasuruan dan telah menjadi anggota Volksraad bertahun-tahun,” dikabarkan dalam koran tersebut, tertanggal 11 Juli 1930.
Karirnya yang moncer semasa menjadi Bupati Pasuruan dan Volksraad, semakin menguatkan karirnya sebagai birokrat kolonial. Usai lulus dari ujian kepegawaian di Belanda, Soejono masih menjabat sebagai anggota Volksraad.