Mahmud Fauzi, staf Kementerian Kesehatan Bidang Gizi Masyarakat mengakui pandemi yang terjadi akan meningkatkan angka malnutrisi di secara massif. Ekonomi yang terganggu menjadi penyebabnya.
Hasil kajian oleh Kemenkes ditemukan, sebanyak 17 persen rumah tangga menurunkan bujet pengeluaran akibat pandemi. Lebih dari 27 persen bahkan mengurangi pengeluaran hingga 50 persen. “Daya beli turun, termasuk membeli makanan sehat bergizi,” kata Mahmud.
Pandemi yang terjadi kian menyulitikan kegiatan pemantauan tumbuh kembang anak secara langsung. Mahmud mengatakan, sebelum pandemi, rata-rata tingkat kunjungan ke Posyandu mencapai 73,6 persen. Saat ini, turun menjadi 63 persen.
Sebagai instrumen pemantauan tumbuh kembang anak, kegiatan Posyandu sangat penting. Akan tetapi, badai Covid-19 menjadikan kegiatan ini banyak berkurang demi mencegah penularan.
Data infocovid-19.go.id., per 6 Agustus lalu, dari 3,6 juta kasus positif yang ada, 2,9 persen merupakan anak-anak dengan rentang usia 0-5 tahun dan 8,9 persen untuk usia 6-18 tahun.
Berbagai situasi itu dipastikan turut menambah beban tiga masalah gizi anak secara signifikan. Angka stunting yang sebelumnya pandemi mencapai 2 juta anak atau 30,5 persen diperkirakan akan meningkat
Begitu juga dengan kasus wasting yang sebelumnya tercatat sebesar 10,2 persen; dan overweight 8 persen. “Kumungkinan naik 15 persen atau 7 juta anak di dunia mengalami wasting di tahun pertama Pandemi,” terang Mahmud.
Di beberapa daerah, kegiatan pemantauan dilakukan secara door to door dengan melibatkan kader kesehatan setempat. Namun, daerah yang memiliki topografi berat, kegiatan tersebut jelas menyulitkan.
Sebagai antisipasi, Mahmud mendorong agar otoritas kesehatan setempat membuat inovasi supaya kegiatan edukasi tetap bisa berjalan di tengah pandemi. Caranya, dengan memanfaatkan teknologi digital yang ada.
“Kami juga menyebar booklet-booklet digital supaya bisa dipelajari secara dan juga melibatkan multipihak guna mendukung kegiatan e-tele edukasi dan e-conseling,” jelas Mahmud.
Selain itu, pihaknya kini juga tengah menyusun materi menu makanan berbahan lokal yang bisa didistribusikan secara digital. Penggunaan bahan lokal dipilih dengan maksud memudahkan akses bagi masyarakat pedesaan.
Pasalnya, dari jutaan kasus malnutrisi di Indonesia, didominasi masyarakat pedesaan. Misalnya, asupan makanan energi dengan perbandingan 52,9:51,9 persen. Begitu juga dengan kekurangan protein, 55,7 tinggal di pedesaan, 49, 6 adalah masyarakat perkotaan.
Ahli Gizi Masyarakat, dr. Tan Shot Yen mengatakan, terlepas dari situasi saat yang masih pandemi, harus diakui kesadaran gizi oleh masyarakat Indonesia masih rendah. Hal itu didasarkan pada rerata konsumsi dan pengeluaran per kapita penduduk Indonesia.
Merujuk data yang dirilis BPS, kata dr. Tan, makanan dan minuman jadi menjadi urutan pertama yang dikonsumsi masyarakat Indonesia (35 persen). Disusul rokok dan padi-padian yang masing-masing sebesar 12,3 persen dan 11,3 persen.
Ikan dan sayuran yang merupakan sumber nutrisi hanya 7,9 persen dan 6,6 persen. Sedangkan telur dan susu 5,7 persen. Sementara buah-buahan dan umbi-umbian, masing-masing sebesar 4,8 dan 1 persen.
“Ini menunjukkan bahwa kesadaran untuk mengonsumsi makanan yang sehat masyarakat Indonesia masih rendah. Makan yang penting kenyang, bukan melihat kebutuhan nutrisinya,” kata dr. Tan.
Tan bilang, meningkatkan literasi menjadi salah satu kunci meningkatkan standar gizi anak di Indonesia. Terutama yang berkaitan dengan produk-produk atau bahan makanan yang banyak mengandung nutrisi.