Pandemi yang terjadi dipastikan meningkatkan angka malnutrisi pada anak. Butuh strategi khusus untuk mengantisipasinya.
Laporan: Asad Asnawi
JAUH sebelum pandemi terjadi, Indonesia sudah “bermasalah” dengan nutrisi anak. Laporan Kementerian Kesehatan pada 2018, menyebut 2 juta anak mengalami stunting hingga menempatkannya sebagai negara kelima di dunia dengan jumlah kasus paling banyak.
Pandemi yang berlangsung lebih dari setahun dipastikan akan menambah beban persoalan itu. Nutrisi anak diprediksi akan semakin memburuk imbas makin terbatasnya akses terhadap pangan.
Survei daring yang dilakukan Unicef saat awal pandemi lalu menyebut, sebanyak 36 persen responden terpaksa mengurangi porsi makanan untuk bisa bertahan di tengah pandemi.
“Hilangnya pendapatan rumah tangga meningkatkan risiko anak mengalami kurus dan kekurangan gizi mikro,” tulis Unicef dalam laporan berjudul Covid-19 dan Anak-Anak di Indonesia yang dipublikasikan tahun lalu itu.
Kekurangan gizi mikro akan menjadikan anak menyandang status giiz buruk, sebuah sinyal bahaya bagi anak karena dapat menyebabkan kematian. Bahkan, risikonya 12 kali lipat lebih tinggi dibanding anak bergizi baik.
Sri Sukotjo, spesialis gizi dari Unicef Indonesia mengemukakan, pandemi yang terjadi semakin menambah beban Indonesia yang sejak lama bermasalah dengan tiga persoalan gizi. Yakni stunting, wasting, serta kelebihan berat badan.
“Pandemi yang terjadi membuat sebagian masyarakat kehilangan pekerjaan. Akibatnya, banyak sekali keluarga yang kesulitan akses terhadap makanan bergizi,” kata Sri Sukotjo, awal Agustus lalu.
Sri bilang, hasil survei yang dilaksanakan saat awal pandemi 2020 lalu mendapati sepertiga dari responden mengurangi variasi dan porsi makanan. Separuh anak remaja bahkan saban hari mengonsumsi mi instan demi menghemat.
“Ada lebih dari 50 persen tidak mengkonsumsi buah-buahan sebagai salah satu sumber nutrisi,” kata Sri. Selain itu, pola pengasuhan oleh para orang tua juga berubah. Termasuk ibu-ibu menyusui. Situasi ini yang pada akhirnya akan membawa dampak turunan pada sang anak.
Sri mengakui, pandemi yang terjadi makin menambah tekanan ekonomi pada keluarga rentan. Keamanan pangan rumah tangga terganggu yang pada akhirnya mempengaruhi pola asuh dan asupan gizi yang dibutuhkan.
Pada ibu hamil dan menyusui, ketidakamanan pangan juga berpotensi meningkatkan anemia dan kurangnya berat badan. Padahal, sebagai ibu menyusui, menjaga berat badan dan gizi sangat penting karena dapat menyebabkan berbagai bentuk kekurangan gizi pada anak.
Sayangnya, pandemi Covid-19 yang tak kunjung berakhir menyulitkan upaya identifikasi dan perawatan imbas pembatasan jarak. Karena itu, menurut Sri, pemerintah dinilai perlu menyusun strategi guna mengatasi persoalan tersebut.
“Karena jika tidak, ini akan menjadi sinyal bahaya di masa depan. Ini persoalan serius karena mereka-lah (anak-anak, Red) yang akan mengendalikan bangsa ini,” jelas Sri.
Sistem dan Anggaran Ikut Terganggu
Di sisi lain, ancaman malnutrisi pada anak kian kompleks dengan terganggunya sistem kesehatan. Baik dari sisi layanan maupun anggaran.
Penelitian yang dilakukan Unicef mendapati hanya sepertiga anak berusia 0-23 bulan yang melakukan timbang berat badan pada periode Maret-Juni 2020. Selain itu, tak sampai 50 persen ibu-ibu mendapat layanan konseling.
Dari sisi anggaran pun demikian. Sekitar 73,6 persen Dinas Kesehatan mengalihkan anggaran gizinya untuk membantu penanganan Covid-19. Sedangkan 23,7 persen, masih tetap mengalokasikan.
“Kalau pun anggarannya ada, petugasnya yang tidak memadai karena 79,2 persen tenaga gizinya dialihkan untuk membantu penanganan pandemi,” terang Sri.