Bappenas menyebut, Jawa menjadi salah satu pulau yang banyak menanggung kerugian akibat dari perubahan iklim ini. Bukan hanya air. Sektor pertanian, kelautan dan pesisir Jawa termasuk yang paling parah.
Hasil kajian oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bahkan menyebut tingkat abrasi pesisir Jawa Tengah merupakan yang terparah di Indonesia. Mencapai 150 meter per tahun.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebut, secara nasional, kerugian akibat perubahan iklim ini diperkirakan mencapai Rp 115 triliun pada 2024. Dan Jawa, menyumbang separuh di antaranya.
Potential loss itu baru dihitung berdasar potential income yang gagal diperoleh imbas dari perubahan iklim. Tidak termasuk kerugian yang diakibatkan dari kejadian bencana.
Merujuk data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sepanjang 2010-2018, tercatat 6.737 peristiwa banjir terjadi. Disusul puting beliung sebanyak 5.744 kejadian; 4.474 tanah longsor; 754 kekeringan dan 207 gelombang pasang atau abrasi. Sementara pada tahun ini, hingga Mei 2021 ini, tercatat 723 peristiwa bencana terjadi.
Celakanya, dari rangkaian bencana yang terjadi, separo lebih terjadi di Pulau Jawa. Terutama bencana banjir dan tanah longsor.
Pada akhirnya, data dan angka-angka di atas tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya upaya dan langkah bersama untuk antisipasi dan mencari solusi. Pemerintah dan juga para pihak perlu melakukan upaya yang lebih serius untuk menekan dampak perubahan iklim.
Saking parahnya, dampak perubahan iklim dipastikan tak lebih buruk dari pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini. Bedanya, jika kita tanpa persiapan menghadapi pandemi, pada perubahan iklim, kita masih punya waktu . (*)