Bagi masyarakat Balun, Bhinneka Tunggal Ika tak sekadar semboyan. Ia adalah laku hidup tentang bagaimana perbedaan keyakinan mampu diubah menjadi sebuah harmoni.
Laporan: Asad Asnawi
HIDUP penuh toleran itu mudah. Masyarakat Desa Balun, Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur telah membuktikan itu. Selama bertahun-tahun, masyarakat desa ini mampu hidup rukun meski beda keyakinan. Itu pula yang membuat desa ini menyandang predikat sebagai Desa Pancasila.
Masyarakat setempat pun cukup bangga dengan predikat itu. Sebuah predikat yang menggambarkan nilai-nilai Pancasila yang dianutnya. Bahkan, sebuah gapura juga dibangun kokoh di pintu masuk desa. Lengkap dengan tulisan Desa Pancasila yang cukup besar.
Miftahul Akhyar, salah satu pemuda yang juga pengurus masjid setempat mengaku bangga dengan sebutan desanya itu. Bukan hanya karena kerap masuk pemberitaan. Tetapi, gara-gara julukan itu, desanya juga sering menjadi jujukan berbagai lembaga yang ingin mengetahui bagaimana desanya merawat ke-bhinneka-an. “Sering masuk TV juga,” selorohnya sembari tersenyum.
Ihwal julukan Desa Pancasila pada desa yang berada sekitar 4 kilometer dari pusat kota ini memang tak lepas dari kemampuannya merawat perbedaan. Memiliki tiga agama Islam, Kristen dan Hindu, masyarakat desa setempat tetap hidup rukun. Tak pernah ada gesekan.
Kepala Desa Balun, H. Khusaeri, mengatakan, kerukunan antar umat beragama di desanya itu berlangsung sejak lama. Bahkan, sebelum ia menjabat sebagai kepala desa. Tak peduli dari latar belakang agama manapun, mereka terbiasa saling bantu. Terlebih saat pandemi seperti sekarang ini.
Saat ada warga yang menjalani isolasi mandiri, tak peduli dari agama manapun, lainnya ikut membantu. Bahu membahu menyuplai kebutuhan sehari-hari. “Dari dulu ya begini, guyub. Tidak pernah ada masalah. Sebelum saya jadi kepala desa sudah seperti ini,” terang Khusyairi.
Desa Balun memiliki tiga dusun dengan jumlah penduduk sekitar 4.750 jiwa. Sekitar 75 persen adalah pemeluk Islam; 18 persen Kristen dan 7 persen Hindu. Kendati Kristen dan Hindu baru masuk pada dekade 60-an, tak pernah terjadi gesekan karena beda keyakinan.
Bagi Khusaeri, bersikap sikap adil, tanpa diskriminasi menjadi kunci menjaga kerukunan di desanya. Contohnya, saat ia mengalokasikan sebagian tanah desa untuk makam Islam, kebijakan yang sama ia terapkan pada agama lain. Begitu juga dengan pamong desa, juga dihuni dari berbagai latar belakang. Misalnya, posisi Kaur Pemerintahan yang dijabat Heri Sulistiono, pemeluk Kristen.
Sudarno, pemuluk Kristen yang diwawancari Wartabromo mengatakan, hidup rukun meski berbeda keyakinan sudah menjadi nilai hidup warga Balun yang diajarkan turun temurun. Hal itu juga tercermin dari keberadaan tempat ibadah ketiga agama yang saling berdekatan, hanya berjarak sepelemparan batu.
“Masyarakat sudah mengerti, perbedaan agama itu urusannya sendiri-sendiri. Kalau hubungan sosial atau pekerjaan, ya tetap jalan seperti biasa. Di sawah ya gantian saling bantu,” kata Sudarno. Karena itu, tak jarang, dalam satu rumah, latar belakang agama anggota keluarga berbeda-beda. Begitu juga saat digelar perayaan agama, semua lintas agama ikut terlibat.
Begitulah Balun. Bisa dibilang, ia adalah potret kecil Indonesia yang memiliki banyak perbedaan. Dari suku, agama, ras, hingga golongan. Tentu, keberhasilan Balun merawat perbedaan itu layak menjadi contoh. Sebuah contoh bagaimana merawat Bhinneka Tunggal Ika. (*)