Kejadian hampir serupa juga dialami oleh Muhammad Baihaqi, seorang difabel netra asal Jawa Tengah. Status kelulusannya juga dibatalkan, hal ini terjadi karena Baihaqi mendaftar di forrmasi disabilitas, bukan untuk difabel netra. Entah difabel apa yang dibutuhkan instansi itu, kenapa tak ditulis saja secara jelas di persyaratan formasi itu.
Dua gambaran di atas, menjelaskan pembuat kebijakan gagal memaknai konsep inklusi. Sehingga apa yang diamanahkan oleh Undang-undang tidak sejalan dengan yang terjadi di lapangan. Perlu adanya komunikasi ulang antar stake holder untuk menyamakan persepsi perihal konsep inklusi. Komitmen memberi ruang bagi difabel untuk bekerja dan berkarya harus dipertegas lagi oleh pemerintah. Dari semua ini yang terpenting adalah pemerintah mau melakukan peraturan yang dibuatnya sendiri!
*Penulis merupakan pengurus Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni). Saat ini bekerja sebagai staf di lembaga negara di Jakarta.