Laporan : Miftahul Ulum
LEBARAN selalu menyisakan kenangan, cerita, dan bagi para umat muslim di Indonesia, tak terkecuali bagi warga pasuruan. Beragam tradisi dirayakan oleh warga Pasuruan selama lebaran sampai lebaran kupat.
Dari saling berbagi ketupat, menyulut mercon, hingga larung saji di pantai. Namun, tahun kemarin dan tahun ini, suasana lebaran menjadi berbeda lantaran adanya pandemi covid-19.
Sejumlah tradisi melarayakan lebaran kupat seperti petik laut, praonan, dan tradisi lain di Kabupaten Pasuruan untuk tahun ini ditiadakan guna mencegah penyebaran covid-19.
Untuk itu, sebagai pelipur lara karena tidak bisa merayakan tradisi lebaran kupat, mari kita tengok bagaimana leluhur kita merayakan lebaran kupat, semasa Kumpeni masih menginjakkkan kaki di Bumi Sakera.
Pada masa kolonial, “lebaran kupat” dirayakan oleh warga Pasuruan dengan melarung saji di laut. Dalam surat kabar “De Indische Courant” tertanggal 18 Februari 1932 diberitakan, lebaran kupat dirayakan warga Pasuruan dengan penuh keceriaan.
Mereka merayakannya di pantai dan laut menggunakan perahu-perahu milik mereka. Perahu besar dan kecil yang sudah dihias menambah kesan meriah dalam perayaan tersebut.
Nelayan dan warga pantai melarung saji berupa nasi dan bunga di laut menggunakan perahu-perahu yang sudah dihias.
Mereka juga merayakan lebaran kupat dengan menyantap kuliner yang sudah mereka bawa sebelumnya dari rumah.
Tertulis dalam surat kabar tersebut, tradisi ini sebagai upaya untuk mengharap berkah. Sehingga, harapannya industri perikanan semakin baik dengan tangkapan ikan yang lebih banyak di masa mendatang.
Berbeda dengan perayaan di laut, warga Pasuruan pada saat itu juga merayakan lebaran kupat di dua pemandian, yakni di Blauwwater (Banyu Biru) dan Oemboelan (Umbulan), seperti di tahun-tahun sebelumnya.
Dalam Koran yang sama disebutkan hitungan kasar sekitar 20 ribu orang memadati dua pemandian tersebut untuk merayakan lebaran kupat.
Di sana, mereka menyucikan diri dari dosa dengan mandi di sumber air Banyu Biru (Blauwwater) dan Umbulan. Warga membawa nasi, bunga dan kemenyan untuk ditaruh di dua pemandian tersebut.
Di dua pemandian tersebut,warga yang menyucikan diri mandi di tempat terpisah antara pria dan wanita. Tak luput, anak-anak juga ikut bersuka cita merayakan lebaran kupat dengan mandi.
Selain itu, disebutkan, banyak pedagang makanan yang menjajakan makanan di dua tempat tersebut. Warga menghabiskan banyak uang selama lebaran kupat.
Dengan begitu, roda ekonomi berjalan dengan perputaran uang yang besar. Di sisi lain, moda transportasi massal juga kebagian untung, dari dokar, bus dan trem sibuk beroperasi mengangkut warga.
Tradisi lebaran kupat sendiri, menurut Muhammad Najib, budayawan NU merupakan sebuah tradisi masyarakat muslim yang biasanya dirayakan pada 7 hari setelah Hari Raya Idul Fitri. Masyarakat Pasuruan, kata Najib merayakan “kupatan” dengan beragam cara.
“Mulai saling memberi ketupat atau ater-ater kepada sanak family dan tetangga, kirim doa pada keluarga yang sudah meninggal, hingga rekreasi ke tempat wisata alam maupun wisata religi ke tempat yang dianggap suci atau keramat,” terang Najib yang juga Ketua Lesbumi PCNU Bangil.
Najib mencontohkan, seperti tradisi kupatan di Desa Gunungsari, Kecamatan Beji. Setiap momen lebaran kupat, masyarakat sekitar merayakannya dengan berbondong-bondong pergi ke bukit Gunung Sari.
“Masyarakat merayakannya dengan kegiatan berekreasi, memanjatkan doa bersama, dan kemudian makan ketupat bersama-sama,” jelasnya.
Selain itu, secara filosofis, Najib menguraikan bahwa Kupatan berasal dari idiom “Kupat” yang bermakna “aku lepat” atau mengaku salah. Sejalan dengan nafas Idul Fitri untuk saling memaafkan sesama manusia.