Pasuruan begitu lekat dengan bencana banjir. Sejarah mencatat, sejumlah peristiwa banjir dan longsor pernah terjadi hingga menelan belasan korban jiwa. Bagaimana Pemerintah Hindia Belanda mengatasinya?
Laporan Miftahul Ulum
SEBUAH koran berbahasa Belanda menjadi bukti sejarah yang mencatat bagaimana peristiwa itu terjadi. Air bah datang dan menghantam sebagian wilayah timur Pasuruan tahun 1929 silam. Sebanyak 15 orang tewas dalam kejadian kala itu.
Setelah hampir satu abad berselang, insiden serupa kembali terjadi. Air bah dari sungai Kepulungan menerjang Dusun Kepulungan Dua, Kecamatan Gempol, awal Februari 2021 lalu. Dua orang meninggal dan puluhan rumah lainnya rusak berat. Enam di antaranya rata dengan tanah.
Menelisik sejumlah arsip dan dokumen, bencana memang begitu akrab dengan Pasuruan. Baik banjir maupun longsor. Tak jarang, rentetan peristiwa itu banyak menelan korban jiwa. Seperti yang terjadi pada tahun 1929 silam.
Kala itu, Pasuruan masih berbentuk karesidenan dengan membawahi Probolinggo, Malang hingga Lumajang sebagai wilayahnya. Jejak peristiwa itu bisa dilihat dalam arsip koran Haagsche Courant bertanggal 3 Mei 1929.
Dalam publikasinya, media milik pemerintah Hindia Belanda itu memajang foto seorang nenek yang tengah berdiri di tengah genangan banjir. Ia berusaha melarikan diri dari rumahnya yang kebanjiran. Sementara di sebelah kanan tampak sejumlah pegawai yang sibuk membenahi ruas jalan yang rusak akibat tergerus air.
Sebelumnya, belasan nyawa juga hilang tersapu oleh banjir di Kabupaten Pasuruan. Masih menurut laporan media yang sama, sedikitnya 15 orang tersapu banjir bandang bercampur lumpur yang terjadi akibat hujan deras yang terjadi pada Selasa (8/3/1929).
Surabaiasch Handelsblad, koran lain yang juga berbahasa Belanda menyebutkan, banjir lumpur turun dengan deras mengalir ke dua sungai, yakni Kali Boeloe Goenting dan Kali Djeladri. Akibatnya, di distrik Tengger, Grati dan Kebontjandi tertimbun banjir bandang bercampur lumpur.
Dijelaskan dalam surat kabar tersebut, sekitar dua puluh orang dari desa Panditan yang tengah bekerja di perkebunan, diterjang oleh tanah longsor. Dua di antaranya beruntung masih bisa diselamatkan. Namun, 15 orang ditemukan dalam kondisi tewas tertimbun longsor yang datang secara tiba-tiba. Sementara tiga yang lain, masih belum diketemukan, setidaknya sampai koran tersebut diterbitkan.
Di Kecamatan Lumbang (Districk Loembang) tak hanya menelan nyawa manusia, perkebunan, tegalan dan sawah yang menjadi lahan warga menggantungkan hidup juga rusak diterjang banjir.
Sedikitnya 30 bau tegalan dan sawah rusak. Sementara sekitar 2000 bau tegalan yang tengah bersemi, terkubur oleh lumpur yang ikut terbawa bersama banjir bandang.
Tak jauh berbeda dengan Kecamatan Loembang, di Distrik Kebon Tjandi, sejumlah 40 bau padi yang sudah ditanam warga porak poranda.
Disebutkan pula dalam Surabaiasch Handelsblad, bahwa Desa Prodo dan Bandaran porak poranda diterjang banjir bandang. Bahkan, akibat terseret arus banjir, seorang wanita tua juga tewas.
Setelah diterjang banjir, seluruh Desa Prodo dievakuasi. Namun yang tak sempat terselamatkan adalah barang rumah tangga. Selain itu, banyak unggas yang juga hilang terseret air bah.
Sama halnya dengan sekarang, Desa Prodo, Kecamatan Winongan juga menjadi langganan banjir. Beruntung dalam beberapa tahun ini, tidak pernah terjadi banjir besar yang merugikan.
Banjir bandang tahun 1929 itu, juga menerjang sampai Distrik Grati, melewati desa Trewung dan Kambingan. Di Grati, seorang bocah kecil dikabarkan tewas terseret air bah. Sementara yang lain masih bisa diselamatkan, kendati dengan susah payah.