Laporan : Miftahul Ulum
SEBUAH rumah kuno bercat hijau putih berdiri gagah di Jalan Diponegoro 5, Kota Pasuruan. Siapa menyangka, 75 tahun lalu, di rumah yang hanya berjarak 500 meter dari Makam Mbah Hamid ini pernah dijadikan sebagai kantor darurat PBNU.
Di rumah itu, roda organisasi, administrasi dan keperluan organisasi PBNU berjalan. Termasuk, mengobarkan semangat revoluasi. Itu terjadi saat Surabaya, dan sebagian wilayah Jawa Timur menghadapi gempuran Sekutu dan Belanda yang ingin mengusai Indonesia. Berbagai berkas, dan stempel organisasi diboyong ke Kota Pasuruan, yang tak lain, merupakan kediaman KH. Muhammad Dahlan.
Saat WartaBromo., meninjau rumah yang dimaksud, kondisi rumah masih berdiri gagah kendati sudah hampir 5 tahun tak dihuni. Pilar-pilarnya masih berdiri kokoh, dengan tambalan semen di beberapa bagian. Sementara halaman rumah dipenuhi rumput liar. Di depan rumah dibiarkan tumbuh sebuah pohon kelengkeng yang berbuah lebat tanpa pernah dipetik.
Ali Mustain, salah seorang cucu dari sang empu-nya rumah mengisahkan, tatkala pecah revolusi kemerdekaan di Surabaya tahun 1945, kantor PBNU yang berada di Jalan Sasak, Surabaya, diboyong ke rumah Kiai Dahlan. Perang hal ini bertujuan untuk menyelamatkan asset organisasi dan keberlangsungan organisasi tatkala perang.
“Mbah Kiai Dahlan sebagai Wakil Ketua PBNU mendapat mandat untuk memindahkan kantor yang saat itu berada di Jalan Sasak Surabaya ke rumahnya. Sebelum 10 November 1945, kantor PBNU sudah diboyong kesini. Berkas-berkas dan Stempel organisasi dibawa Kiai Dahlan,” urai Ali, mengenang kakeknya yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Agama ke-11, Minggu (31/1/2021).
Praktis, semasa Kota Surabaya masih belum ada, maka kegiatan perkantoran dan administrasi PBNU berlangsung di Kota Pasuruan selama kurang lebih 3 tahun. Terlebih, Agresi Militer Belanda I dan II telah berhasil merebut kota-kota penting di Jawa. Keberadaan kantor PBNU akhirnya pindah lagi ke Madiun sebelum pecah revolusi September 1948.
“Setelah dari sini, kantor PBNU dipindahkan ke Madiun. Kalau alasannya kurang tahu kenapa. Ketika di Madiun, istri Mbah Dahlan tertembak oleh PKI. Yang akhirnya dijodohkan dengan perempuan padang oleh KH. Bisri Sansuri (salah satu pendiri NU),” urai pria yang menjadi ketua Yayasan Pendidikan KH. M. Dahlan.
KH. Saifudin Zuhri menyebut perpindahan kantor PBNU dari Pasuruan ke Madiun lantaran gangguan militer Belanda. “Karena gangguan militer Belanda, akhirnya hijrah buat kali kedua dari Pasuruan Madiun, bertempat di Jalan Dr. Sutomo 9 Madiun,” tulis Kiai Saifudin, dalam bukunya Berangkat Dari Pesantren, seperti dikutip dari NU Online.
Gangguan yang dimaksud tidak lain adalah serangkaian Agresi Militer Belanda yang dilancarkan sejak tahun 1947 untuk menembus pertahanan pasukan revolusi dan merebut wilayah strategis penyedia logistik perang Belanda.
Ali menjelaskan, rumah ini telah berusia lebih dari 70 tahun. Kala itu, tahun 1940-an Kiai Dahlan membelinya dari pemiliki sebelumnya seharga Rp 50 ribu. Itu pun dengan rumah di sebelahnya yang kini menjadi ruko-ruko di Jalan Diponegoro. Namun Ali tak menyebut siapa pemilik rumah sebelum berpindah tangan pada Kiai Dahlan.
Kini, rumah gedong yang pernah dihuni oleh Menteri Agama tersebut tak ada yang menempati. Terakhir, Muftiah Rosyidah, kakak Ali, yang menempati rumah bernilai sejarah tinggi ini. Usai meninggal tahun 2016, belum ada keluarga yang mau untuk tinggal di rumah tersebut.
“Keluarga tersebar di Jakarta, Bandung, Kota Malang, tidak ada yang mau untuk tinggal disini,” jelasnya.