Pertanyaannya sederhana. Jika sudah sesuai baku mutu, ngapain repot-repot bangun pipa hingga ke DAS Wrati sana?
Oleh: Asad Asnawi
TERHITUNG sudah tiga bulan lebih polemik soal pipanisasi limbah lima perusahaan di Kecamatan Beji berlangsung. Hingga kini, belum ada tanda-tanda tercapai solusi.
Memang, hearing antara DPRD, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan juga perwakilan warga menyepakati agar rencana pipanisasi tetap dilanjutkan, meski dengan sejumlah catatan.
Akan tetapi, kesimpulan dalam rapat itu justru terasa antiklimaks. Atau bahkan kontraproduktif terhadap persoalan yang paling mendasar atas polemik ini. Itu karena apa yang melatari rencana pipanisasi itu tidak pernah terjawab dan terjelaskan dengan hingga kini.
Pipanisasi itu sendiri sebagai buntut protes warga Gununggangsir terkait pembuangan limbah cair oleh 5 perusahaan ke sungai desa setempat. Kelimanya adalah PT. Mega Marine Pride, PT. Baramuda Bahari, PT. Wonokoyo Jaya Corp., PT. Universal Jasa Kemas, dan PT. Marine Cipta Agung.
Dalam banyak kasus, protes pembuangan limbah biasanya dipicu adanya perubahan fisik pada badan sungai. Baik warna atau aroma. Begitu juga yang terjadi di Gununggangsir. Warga protes karena limbah dari lima perusahaan tersebut dituding mencemari sungai setempat hingga menimbulkan bau.
Pada satu sisi, protes itu menjadi hal biasa. Jamak terjadi di tempat-tempat lain. Seperti yang pernah dilakukan warga Baujeng, juga di Kecamatan Beji. Atau di daerah-daerah industri lain.
Nah, yang terasa tak lazim adalah penyikapan atas protes itu. Karena biasanya, protes tersebut direspons dengan mencari tahu apa penyebab pencemaran itu terjadi. Caranya, dengan menurunkan tim oleh DLH ke lokasi guna mencari sumber pencemar.
Mendatangi pabrik yang dicurigai guna mengklarifikasi, sekaligus menguji kualitas air limbah juga bagian dari cara bagaimana penyikapan itu harus dilakukan.
Tetapi, yang terjadi pada kasus ini justru tidak demikian. Bahkan, mungkin salah kaprah. Kenapa? Bukannya mencari tahu penyebab dugaan pencemaran itu, DLH justru memberikan alternatif solusi yang pada akhirnya memicu persoalan baru.
Betapa tidak, limbah cair yang sebelumnya dibuang di sungai hingga memicu protes warga Gununggangsir itu rencananya akan dialihkan ke Kali Selorawan melalui pipa. Panjangnya sekitar 3 kilometer.
Sontak saja, keputusan itu menuai reaksi dari warga di pinggiran Kali Wrati. Itu karena Kali Selorawan terhubung dengan sungai ini. Warga menilai, langkah pipanisasi itu tidak menyelesaikan masalah. Tapi, mengalihkannya. Dari yang semula di Gununggangsir, ke desa-desa di sekitar Kali Wrati.
Disinilah salah kaprah itu terjadi. Persoalan yang harusnya bisa diselesaikan dengan mudah, pada akhirnya harus menjadi polemik berbulan-bulan.
Sederhananya begini. Bahwa membuang limbah cair ke sungai, sah dan boleh-boleh saja. Syaratnya, limbah yang dibuang sudah melalui proses pengolahan di IPAL hingga memenuhi baku mutu.
Nah, protes oleh warga Gununggangsir sebelumnya bisa jadi karena limbah yang dibuang tidak sesuai baku mutu hingga menimbulkan bau. Dugaan itu pun diperkuat penuturan pejabat DLH kala hadir dalam hearing di DPRD beberapa waktu lalu. Bahwa dari 5 perusahaan di atas, ada yang tidak sesuai baku mutu.
Artinya, penyelesaian polemik limbah kelima perusahaan ini seharusnya cukup dengan memastikan bahwa limbah cairnya telah sesuai baku muku. Setelah itu, mendapat izin pembuangan limbah cair ke badan sungai. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Izin Pembuangan Limbah Cair ke Sumber-Sumber atau Badan Air di Wilayah Kabupaten Pasuruan.