Untuk membuktikannya, media ini sempat membeli beberapa infus di sebuah apotek. Setelah membuang cairannya, kemasan kosong itu kemudian ditimbang guna mengetahui berat kemasan. Hasilnya, diketahui bila kemasan infus pabrikan Widatra memiliki berat 33 gram. Dengan demikian, dari 1 kilogram biji plastik, bisa menghasilkan 30 kemasan.
Nah, dari sinilah dugaan persoalan muncul. Pasalnya, jumlah biji plastik yang diimpor Widatra Bhakti diduga melebihi kebutuhan. Sebab, dengan rata-rata produksi yang mencapai 80 juta botol tiap tahun, Widatra Bhakti hanya memerlukan 2.640 ton biji plastik.
Perhitungannya, 33 gram (berat satu kemasan) dikalikan 80 juta botol (rerata produksi tiap tahun) menjadi 2.640 ton. Kenyataannya, jumlah bahan baku yang diimpor Widatra lebih dari itu (lihat grafis).
Kepastian kapasitas produksi Widatra sendiri diketahui dari penjelasan Presiden Direktur Widatra, Sudiartono. Dalam penjelasan tertulisnya, dia menyebut bila rata-rata produksi infus perusahaan yang dipimpinnya mencapai 80 juta botol per tahun. Namun, saat disinggung berapa kebutuhan bahan baku guna memenuhi produksi itu, pihaknya enggan menjawab.
“Kebutuhan bahan baku tentunya mengikuti sesuai jumlah produksi, kecuali ada sebab tertentu,” tulis Sudiartono tanpa menyebut angka pasti kebutuhan bahan baku. Melalui juru bicara Widarta Dyah, Sudiartono enggan memberikan penjelasan ketika media ini bermaksud kembali mengajukan pertanyaan.
Selain Widatra Bhakti, dugaan kelebihan impor juga terjadi pada PT. Otsuka Indonesia. Sekadar diketahui, merujuk data Dinas Penanaman Modal Provinsi Jawa Timur, perusahaan yang beralamatkan di Lawang, Kabupaten Malang ini memiliki kapasitas produksi infus 8 juta botol.
Untuk memenuhi kebutuhan itu, Otsuka Indonesia hanya memerlukan 594 ton biji plastik. Akan tetapi, jumlah yang diimpor lebih dari itu. Sebut saja pada 2016 sebanyak 792 ton, 2018; 1.700 ton.
Munculnya dugaan selisih kebutuhan dengan total yang diimpor berpotensi menimbulkan kerugian negara hingga miliaran rupiah. Sebab, pemerintah harus menanggung bea masuk yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh perusahaan.
Misalnya, pada 2016, PT. Widatra Bhakti mendapat kuota impor sebesar 3.299,7 ton, dan terealisasi sebesar 3.291,7 ton. Dari jumlah tersebut, realisasi BMDTP yang dikucurkan sekitar Rp 6,4 miliar.
Kemudian, pada 2017, biji plastik yang diimpor mencapai 3.395,3 ton, sedikit lebih kecil dari kuota yang diberikan sebesar 3.539,2 ton. Dari jumlah tersebut, besaran BMDTP yang dicairkan mencapai Rp 7,79 miliar.
Lalu, pada 2018, realisasi impor mencapai 2.574 ton dengan besaran BMDTP sekitar Rp 6,97miliar. Sedangkan pada 2019 realisasi impor Widatra Bhakti sebesar 2.994,7 ton dengan total subsidi sebesar Rp 8,02 miliar. Pada tahun lalu Otsuka kembali melakukan importasi biji plastik Otsuka dalam jumlah yang sama dengan tahun sebelumnya, yakni 1.782 ton dengan nilai BMDTP sebesar Rp 2,4 miliar.
Sejauh ini belum diperoleh keterangan untuk apa sisa biji plastik milik Widatra dipergunakan. Saat media ini mendatangi lokasi perusahaan, pihak manajemen enggan menemui dengan alasan belum ada janji. Sementara upaya untuk membuat janji pun tak kunjung membuahkan hasil.
Hal yang sama juga terjadi saat media ini mencoba meminta konfirmasi pihak Otsuka Indonesia di Lawang. Petugas keamanan pabrik yang menolak disebutkan namanya meminta media ini membuat janji terlebih dulu untuk melakukan wawancara. Namun, beberapa kali upaya tersebut tak kunjung mendapat respons. Tercatat, dua kali media ini mendatangi lokasi pabrik dan 8 kali menghubungi melalui telepon untuk membuat janji.