Karena itu, kata Budi, kantor wilayah tidak terlibat dalam proses penentuan perusahaan penerima BMDTP. Termasuk, melakukan pemeriksaan terhadap barang yang diimpor.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, Penny Lukito, dalam laporannya Juni 2020, mengatakan, selama ini, pemanfaatan BMDTP memang masih didominasi pabrikan penghasil infus. “Sampai saat ini kemasan sediaan infus dan atau injeksi belum diproduksi lokal,” kata dia dalam pertimbangannya. Selain itu, infus dan injeksi banyak dibutuhkan masyarakat luas.
Masalahnya, industri obat di Indonesia tidak hanya infus. Berdasar data di laman website Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI), jumlah perusahaan farmasi di Indonesia mencapai 300 lebih. Termasuk infus yang angkanya sebanyak delapan perusahaan.
Di Jawa Timur saja, merujuk data Dinas Penanaman Modal Terpadu, jumlah produsen infus ada 4 unit. Selain Widatra Bhakti dan Otsuka Indonesia, ada juga Satoria Aneka Industri (SAI), MJB Pharma, serta yang terbaru, PT. Kasa Husada Wira Jatim.
Di sisi lain, tidak banyaknya perusahaan farmasi yang mendapat BMDTP memunculnya pertanyaan di sejumlah kalangan. Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo, menyebutkan, pemberian insentif dalam bentuk bea masuk ditanggung pemerintah hanya kepada segelintir perusahaan menjadi hal yang janggal.
“Ini layak menjadi pertanyaan. Kenapa hanya tiga perusahaan itu yang dapat. Bagaimana dengan yang lain? Tidak mengajukan atau tidak layak? Badan POM harus menjelaskan itu,” kata Adnan Wisudo. Dia menduga, pemberian BMDTP ini belum tersosialisasi dengan baik di kalangan pengusaha.
PT. Satoria Agro Industri (SAI) adalah salah satu perusahaan farmasi, yang juga sempat mengajukan subsidi BMDTP. Tetapi, ditolak dengan alasan perusahaan dimaksud masih baru. Padahal, pada regulasi, umur perusahaan beroperasi tidak menjadi persyaratan. “Dulu memang pernah mengajukan, tapi tidak disetujui karena masih baru,” kata juru bicara SAI, Suharto.
Seorang staf perusahaan penghasil infus yang lain di Pasuruan bahkan mengaku tak tahu menahu adanya insentif berupa BMDTP tersebut. Pihaknya hanya mengetahui adanya BMDTP terkait penanganan Covid-19. “Kalau memang ada (BMDTP non Covid-19), ya nanti kami coba untuk mengajukan,” ujarnya.
Setali tiga uang, Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) Tirto Kusnadi yang dihubungi melalui telepon juga menolak memberikan komentar terkait BMDTP sektor farmasi.
Kelebihan Kuota
PADA sisi yang lain, pemberian BMDTP untuk sejumlah perusahaan farmasi diduga melebihi kebutuhan. Dugaan itu diketahui setelah membandingkan antara bahan baku yang diimpor dengan berat masing-masing kemasan dikalikan total produksi yang dihasilkan.
Media ini sempat mewawancarai staf bagian produksi di salah satu perusahaan penghasil infus di Pasuruan, Eko Effendi. Ia mengatakan, proses pembuatan kemasan infus diawali dari biji plastik yang masih berbentuk bulir-bulir kecil. Dari yang masih berbentuk bulir itu selanjutkannya dimasukkan ke mesin.
Menurut Eko, ada dua jenis mesin yang biasa dipakai dalam pembuatan infus. Satu mesin jenis pertama hanya memerlukan satu tahapan dalam membuat infus. Misalnya, begitu biji plastik dimasukkan, sudah langsung keluar dalam bentuk kemasan infus. “Dan, jenis mesin satunya, tiga tahap. Inject, blowing dan filling,” kata Eko.
Eko mengatakan, di tempatnya, untuk satu kemasan infus rerata memiliki berat 14 gram. Dengan kata lain, setiap satu kilogram biji plastik, bisa menghasilkan sekitar 71 kemasan infus ukuran 500 mililiter. “Tapi kan tidak semua pabrikan memiliki berat yang sama, beda-beda,” ungkapnya.