Oleh: Miftahul Ulum
MENDUNG tipis menutupi langit puncak Gunung Penanggungan, Senin (21/12/2020) siang lalu. Di kaki gunung, tampak lubang-lubang bekas tambang yang belum direklamasi.
Di Jurangpelen, Desa Bulusari, yang lokasinya berada di kaki gunung tak terkecuali. Lubang-lubang yang dibiarkan menganga begitu saja seolah menjadi ancaman mereka yang tak waspada.
Bukan hanya lubang-lubang tak terurus. Aktivitas tambang juga meninggalkan jejak jalan paving di sejumlah titik bergelombang karena kerap dilalui kendaraan berat.
Bahkan, di Kampung Rekesan, Dusun Jurangpelen, puluhan kepala keluarga (KK) terancam direlokasi karena tempat mereka tinggal diapit lubang tambang.
Dengan kedalaman lubang yang mencapai 40 hingga 50 meter, lokasi yang berjarak sekitar 3 kilometer dari Jalan Raya Surabaya-Malang ini dinyatakan sebagai zona bahaya. Utamanya longsor.
Untuk masuk ke perkampungan saja, WartaBromo, yang berkunjung kesana harus melewati jalanan menurun, sebelum akhirnya kembali menanjak dan masuk perkampungan.
Jalanan itu menurun karena sebelumnya dikeruk dan menjadi akses keluar masuk kendaraan ke area tambang. Dan, tambang yang mengelilingi permukiman itulah yang membuat warga ‘terisolir’.
Berdasar penelusuran media ini, lahan tersebut merupakan milik PT. Teja Sekawan Abadi (TSA) melalui perusahaan afiliasinya PT. Prawiira Tata Pratama (PTP). Dengan dalih untuk proyek perumahan prajurit, PT. PTP kemudian mengeruk lahan tersebut untuk tambang.
Hartono, salah satu warga setempat mengatakan, selama ini pihaknya tak berbuat banyak melawan tambang ilegal itu. Alih-alih melawan, sebelumnya ia bahkan sempat didatangi oknum tentara untuk bersedia direlokasi.
“Sempat dulu. Tiba-tiba datang dan menyampaikan warga setuju direlokasi supaya tanahnya bisa ditambang,” terang Hartono kepada WartaBromo.
Sontak, Hartono pun menolak. Pada titik tertentu, ia memang tak terlalu peduli dengan kegiatan tambang ilegal di tempatnya. “Tapi, jangan kami yang disuruh pindah. Ini tanah kami,” ujar Hartono.
Karena itu, menyusul wacana relokasi oleh pemerintah karena wilayah setempat masuk zona bahaya, Hartono tetap menolaknya. Perihal tempatnya tinggal rawan longsor, ia menyerahkannya kepada Yang di Atas.
Longsor memang menjadi ancaman paling nyata kampung berpenduduk 26 KK (bukan 36, seperti disebutkan Kemenko Marves). Apalagi, di beberapa titik, jarak rumah warga dengan tebing hanya sepelemparan batu.
Jika dalam aturannya batas tepi tambang dibuat terasiring atau bertrap guna menghindari longsor, kenyataan itu tak didapati. Di beberapa lokasi, sudut kemiringan mencapai 90 derajat.
Meski begitu, Hartono tetap bergeming dengan opsi relokasi oleh pemerintah. Ia mengaku sejak kecil sudah dilahirkan di sana, bahkan sebelum ada tambang yang telah mengepung pemukiman.
Ia tidak rela jika harus dipindah dari tanah kelahirannya, tanah yang membesarkannya, dan telah menyatu dengan kehidupannya.
“Tidak mau Mas, apapun alasannya, saya lahir di sini. Mereka (para penambang) yang salah, malah kami yang disuruh pindah. Wong pas masih beroperasi saja kami tidak mau, apalagi sekarang tambangnya sudah berhenti,” ungkap Hartono keukeuh.
Saat tambang beroperasi, beberapa tahun lalu, ia pernah didatangi oknum marinir yang berencana untuk “mengusir” warga dari tanah kelahirannya.
Oknum tersebut mendatanginya dengan membawa data yang diklaim sebagian besar warga sepakat dengan relokasi. Bahkan, ia sudah disodori data berapa sapi yang dimiliki warga, berapa luas tanahnya.
“Saya tersinggung Mas, lho sampean kok tidak permisi ke saya dulu, tiba-tiba survei ke warga untuk relokasi, saya bilang gitu mas ke dia. Kalau memang warga bersedia direlokasi, silakan tentukan waktu untuk pertemuan warga, apakah benar warga setuju,” kenang Hartono.