Menengok Letusan Gunung Semeru dan Banjir yang Katanya Membawa Berkah

3117
Gunung Semeru memang seringkali mengalami erupsi dan banjir lahar dingin. Bahkan terdapat catatan khusus mengenai peristiwa terbesar Erupsi Semeru.
Laporan : Maya Rahma AKHIR tahun 2020, aktivitas vulkanologi Gunung Semeru mengalami peningkatan. Akibatnya, ratusan warga Lumajang harus mengungsi, dan pendakian sementara ditutup. Bukan perkara baru terkait naik turunnya aktivitas Gunung Semeru ini. Sebab, Gunung Semeru termasuk gunung api yang aktif di Indonesia. Menilik sejarah, Gunung Semeru memang seringkali mengalami erupsi dan banjir lahar dingin. Bahkan terdapat catatan khusus mengenai peristiwa terbesar Erupsi Semeru. Mari diulas satu persatu. Semeru dikelilingi oleh empat Kabupaten. Yakin Lumajang, Probolinggo, Malang, dan Pasuruan. Meski demikian, Lumajang menjadi daerah yang lekat hubungannya dengan Gunung Semeru, sejak zaman pra sejarah. Baca juga: Gunung Semeru dan Asal Usul Nama Lumajang Mansur Hidayat, dalam bukunya yang berjudul Emas Hitam Mahameru memaparkan terkait catatan sejarah aktivitas Gunung Semeru. “Pada masa pra sejarah sampai abad ke-19, tidak banyak catatan atau data sejarah yang tersaji tentang letusan maupun akibat kerusakannya, namun beruntung data-data arkeologi dapat membantu kita untuk menguap pelbagai peristiwa maupun antisipasi penghuninya untuk menangkal dan meminimalisir dampak letusan tersebut,” kata Mansur. Pada masa pra sejarah, warga berbondong-bondong mendiami wilayah di sekitar Semeru. Sebab, daerah ini terkenal dengan tanah yang subur dan cocok untuk pertanian. Kesuburan tanah tersebut tak lepas dari aktivitas vulkanologi Gunung Semeru. Sehingga bisa dipastikan, sebelum dicatatkan dalam sejarah, Semeru seringkali erupsi. Adanya letusan Semeru juga bisa dibuktikan pada kerusakan peninggalan arkeologis yang ada di Lumajang. Di antaranya Candi Gedong Putri yang letaknya di Desa Klopo Sawit, Kecamatan Candipuro. Kerusakan pada Candi ini sebagai bukti adanya letusan dahsyat Semeru sekira tahun 1600-an. Letusan juga dibarengi dengan banjir besar yang menyapu wilayah Candipuro. “Demikian juga tembok yang mengelilingi Dusun Biting di Desa Kutorenon Kabupaten Lumajang yang diperkirakan adalah bekas ibukota Lamajang Tigang Juru yang dimaksudkan sebagai benteng pertahanan maupun tembok dan tanggul penahan banjir,” tambahnya. Pada situs tersebut, menyisakan material pasir dan batu yang memendam sisi barat daya benteng. Hingga kemudian disebutkan setiap 100 tahun, ada banjir besar yang terjadi dan melewati wilayah Lumajang. “Tahun 1818, pemerintah kolonial Belanda mulai melakukan pencatatan terhadap letusan-letusan yang terjadi di Gunung Semeru,” lanjutnya. Sekitar tahun 1905 juga terungkap adanya letusan yang memakan 208 korban jiwa. Tak hanya itu, hewan ternak, sawah, hingga permukiman turut rusak. Ditambah lagi, 5 tahun kemudian pada 1910, banjir besar Semeru juga terjadi. Warga menamainya dengan Banjir Kletek. Peristiwa ini menghabiskan wilayah Besuk dan Kaliwungu di Kecamatan Tempeh, juga Desa/Kecamatan Sumber Suko. Pemerintah Hindia Belanda kemudian mendirikan lembaga untuk meminimalisir dampak letusan gunung. Salah satunya pos pengamatan di Gunung Sawur, Kecamatan Candipuro yang masih ada sampai sekarang. Masuk pada zaman sejarah, tercatat adanya arca kembar atau yang dikenal bernama Arco Podo. Letaknya di bawah puncak Semeru, atau di jalur pendakian Semeru. Namun pada sekitar tahun 1970an, arca tersebut menghilang dan dinyatakan lenyap dari muka bumi. Arca yang dipercaya dapat melakukan tolak bala ini kembali ditemukan tahun 2011. Itupun letaknya sudah di luar jalur pendakian umum. “Diperkirakan pula, banyak kompleks percandian maupun arca-arcanya yang berada di sekitar gunung suci ini. Namun karena seringnya meletus maka data-data arkeologisnya menjadi hilang dan rusak,” tambah Mansur.
Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.