Probolinggo (WartaBromo.com) – Anosmia merupakan gejala yang sangat khas terkait dengan Covid-19. Anosmia adalah hilangnya fungsi indera penciuman.
Anosmia sering terjadi pada saat flu, adanya sinusitis, adanya tumor di saluran pernapasan, dan lain-lain. Terkadang juga disertai gejala tidak bisa merasakan rasa makanan (Ageusia).
“Anosmia biasanya tidak disertai gejala lain seperti demam atau batuk pilek. Anosmia ditemukan pada lebih dari 77% penderita Covid-19,” kata Juru Bicara Ketua Pelaksana Satgas Penanganan Covid-19 Kabupaten Probolinggo dr. Dewi Vironica.
Menurut Dewi, pada saat pihaknya melakukan pemeriksaan rapid tes di lapangan dan menemukan ada yang hasilnya reaktif, pihaknya selalu menanyakan apakah ada gejala dalam 3 minggu terakhir. Meski sebagian besar semua menjawab tidak. “Tapi saat saya tanya apakah pernah merasakan tidak bisa membau/merasa makanan? Sebagian besar menjawab iya pernah, tapi sudah sembuh beberapa minggu lalu,” jelasnya.
Dewi menerangkan bisa dibayangkan saat seseorang anosmia dan tanpa gejala, orang tersebut merasa dirinya masih kuat dan tidak sakit sehingga sering abai dan tidak melakukan protokol kesehatan 3M. “Orang dengan anosmia tidak menyadari bahwa dirinya merupakan spreader (orang yang menyebarkan/menularkan virus),” tegasnya.
Lebih lanjut Dewi meminta agar setiap orang anosmia baik gejala maupun tanpa gejala harus segera melakukan karantina dan periksa ke rumah sakit/puskesmas agar dapat secepatnya dilakukan tindakan pencegahan dan pengobatan pada diri maupun keluarga, karena setiap tindakan akan turut menentukan kapan pandemi ini berakhir.
“Jaga diri dan keluarga dengan waspadai gejala khas Covid-19, jangan kendor terapkan 3M-nya,” ungkapnya.
Sementara dr. Dewi Vironica juga mengatakan musim hujan dan beberapa daerah ada yang terdampak banjir. Selain Covid-19, semua diimbau juga jangan lengah dengan penyakit lain yang dapat berakibat fatal, di antaranya waspadai kasus demam berdarah.
“Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia tahun 2020, kasus koinfeksi DBD dan Covid-19 ditemukan tersebar di 439 kota,” katanya.
Menurut Dewi, gejala awal DBD mirip dengan Covid-19, sama-sama ada demam, nyeri kepala, dan nyeri otot. Adanya kesamaan lain yaitu terdapat kelainan organ dan nilai trombosit turun pada minggu pertama. “Namun Covid-19 lebih sering diikuti gejala pernafasan, sedangkan DBD lebih sering terjadi perdarahan (mimisan dan bintik merah di kulit),” jelasnya.
Lebih lanjut Dewi menerangkan pemeriksaan antigen dengue dan PCR sangat penting pada fase awal penyakit untuk memastikan, apakah ada infeksi bersamaan (koinfeksi). Kedua penyakit tersebut belum ada obatnya, sehingga rutin lakukan tindakan pencegahan adalah yang terbaik.
“DBD dengan 3M Plus (menguras, menutup, mendaur ulang, menggunakan anti nyamuk, dan lain sebagainya). Sedangkan Covid-19 yaitu 3M 3P-3T (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan pakai sabun. Tingkatkan tracing, testing, dan treatment. Hindari kerumunan, kontak erat dan kamar tertutup),” terangnya.
Dewi meminta agar masyarakat mengenali beda gejala penyakit DBD dan Covid-19. Jangan tunda konsultasi ke dokter bila demam berlangsung lebih dari 3 hari. “Kedua penyakit ini belum ada obat maupun vaksin yang efektif, sehingga pencegahan adalah yang terbaik. Tetap semangat, jaga diri dan orang orang tersayang, patuhi protokol kesehatan.
Selain itu dr. Dewi Vironica juga menyebutkan, bahwa penderita Covid-19 yang sudah dinyatakan sembuh tapi masih mengalami gejala sampai berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan disebut dengan Long Covid-19. “Long Covid-19 terjadi karena kerusakan organ akibat keradangan ringan yang terjadi terus menerus di tubuh. Kondisi gejala sisa ini sudah tidak menularkan, harus dibedakan dengan reinfeksi. Kalau reinfeksi ada gejala akut, ada demam,” katanya.