Puluhan kilometer dan medan berat, tak menyurutkan panggilan jiwa seorang Lestari Rahayu mencerdaskan anak-anak di Desa Ledokombo, Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo. Untuk mencapai sekolah, Bu Yayuk rela ‘nggandol’ pikap sayur.
Lailatuansyah, Probolinggo.
DITEMUI di kediamannya, Jalan Pahlawan, Gang Kenongo, RT4/RW14, Kelurahan Kebonsari Kulon, Kecamatan Kanigaran Kota Probolinggo, Lestari Rahayu begitu ramah. Khas seorang guru panutan siswa.
Bu Yayuk -begitu ia kerap disapa-, merupakan nama panggilan yang disematkan oleh murid-murid SMP 5 Satap Ledokombo, Kecamatan Sumber. Perempuan 37 tahun ini lahir di Kota Probolinggo anak kelima pasutri Muridan dan Mukyah.
Ia terpanggil mengabdi dan menjadi seorang guru sejak 2010 silam.
Waktu itu, salah satu rekan asal Makasar, mengajaknya menjadi guru honorer di SMP 5 Satap Sumber. Kendati jarak dari rumah dan sekolah terpaut 45 kilometer, Bu Yayuk muda menerima saja pekerjaan itu.
“Ketika itu susah mencari pekerjaan. Adapun lowongan sebagai guru tidak tetap, tapi pertanyaan yang dilontarkan selalu sama, apakah anda ada kenalan orang dalam? Itu terjadi baik di sekolah negeri maupun swasta,” kenang Bu Yayuk di kediamannya, pertengahan pekan kemarin.
Tak hanya jarak puluhan kilometer, medan sulit (jalan makadam, berbatu, dan lumpur), dan minimnya transportasi jadi tantangannya saat itu.
Meski demikian, kondisi itu
tak menyurutkan tekad perempuan bergelar sarjana ekonomi di Universitas Panca Marga Kabupaten Probolinggo tersebut. “Pokoknya dengan bismillah dan niat baik, saya jalani saja saat itu,” katanya.
Setahun pertama mengajar di sekolah tersebut, Bu Yayuk masih memanfaatkan MPU atau angkutan desa. Nah, untuk menjangkau sekolahnya, ia harus merogoh kocek sebesar Rp15 ribu sekali jalan. Itupun, berangkat dari Pasar Bantaran, sampai ke sekolahnya.
Tarif angkutan tersebut sedianya sudah di-diskon, karena ongkos angkutan dengan jarak yang ditempuh, sekali jalan mencapai Rp20 ribu.
Awal 2011, Bu Yayuk tidak bisa lagi memanfaatkan angkutan desa, lantaran pemiliknya meninggal, dan digantikan sang anak. “Anaknya itu, berangkat selalu siang. Jadi saya memilih untuk beralih angkutan,” terangnya.
Saat itulah, kebiasaan “nggandol” Bu Yayuk dimulai. Setiap pagi, sekitar 05.30 WIB, ia berangkat mengajar, menumpang kenday rekannya sesama guru yang juga searah, sampai Pasar Bantaran atau Pasar Kuripan. Kemudian perjalanan dilanjut dengan menumpang pikap sayur.
“Takut memang ada. Apalagi saya waktu itu tidak kenal dengan mereka (sopir pikap sayur). Saat hendak menumpang, saya sampaikan dengan bahasa jawa halus. Serta menjelaskan pada mereka kalau saya guru. Dengan demikian, para sopir itu sungkan dan memperbolehkan saya menumpang,” kata dia mengenang awal-awal nggandol pikap.
Menurutnya, ada sopir yang rela mengantarnya sampai ke sekolah, meski tak jarang pula yang hanya sampai Pasar Sumber. “Kalau sudah begitu, saya lanjutkan dengan menumpang pikap yang lain. Semuanya saya bayar hanya dengan ucapan terima kasih,” tutur Istri Sunarto tersebut.
Seluruh keadaan itu, tak menyurutkan rasa cinta Bu Yayuk untuk tetap mengajar, semangat mencerdaskan anak bangsa. Jiwanya tetap terpanggil untuk kembali keesokan harinya.
Setahun pertama mengajar, Bu Yayuk tidak mendapat bayaran sama sekali. Karena saat itu sekolah baru buka dan tidak ada muridnya. Memberikan pemahaman pentingnya pendidikan untuk anak sekitar pun tak semudah membalikkan tangan. Beberapa kali, ia terpaksa menggunakan pengeras suara (sound system) untuk menarik simpati dan minat anak-anak.