Douwes Dekker-Irawan Soejono, Duo Pahlawan Berdarah Pasuruan yang “Tertukar?” (2-Habis)

2442

“Ia mengurus mesin-mesin, kertas, dan pesawat radio, dan ia mengangkutnya dengan sepeda bak, kereta dorong, atau koper. Cuaca baik atau buruk, berbahaya atau tidak, malam larut, Henk senantiasa siap,” tulis Soeripno, seperti dilampirkan oleh Harry A. Poeze.

Dari tulisan Soeripno, kita tahu bahwa Irawan adalah bagian dari komando pelajar Binnendlandsche Strijdkrachten (BS), yakni Tenaga Pejuang Dalam Negeri cabang Leiden. Lebih lanjut Soeripno menyebut Irawan ingin terus belajar banyak hal dan ingin hidup bagi negeri dan bangsanya.

“Kini, semua itu tidak lagi mungkin, dua kali ia beruntung dapat lolos dari razia, pada 13 Januari yang naas itu ia tidak beruntung. Ia mencoba terus mengayuh sepedanya, tetapi peluru Nazi telah mencapai sasaranya. Sepucuk senapan bodoh di tangan seorang pembunuh bodoh telah memotong jalan hidup seorang Indonesia yang belum lagi mencapai 23 tahun, yang semangatnya, pengabdiannya, rasa sosialnya, kerajinannya, dan kesederhanaanya akan tetap menjadi contoh,” tulis Soeripno, dikutip dari Di Negeri Penjajah.

Irawan Soejono (paling kanan). Foto: Repro Lodewick Kellenberg.

Kallenberg, menulis tentang kesatuan pasukan dimana Irawan tergabung di dalamnya, sebelumnya bernama Soerapati. Namun, sepeninggal Irawan, kesatuan ini berganti nama menjadi Irawan. Ini menandakan satuan pelajar Indonesia yang berpihak pada pasukan perlawanan Belanda, semata-mata didasari perlawanan terhadap Nazi. Bukan berpihak pada Belanda sebagai penjajah negerinya.

Joss Wibisono, salah seorang wartawan lepas yang tinggal di Belanda, menulis reportase tentang Irawan Soejono dalam situs pribadinya (Gatholoco.com) yang juga dimuat majalah Tempo Edisi 30 Mei 2016. Joss mengutip Soeripno, rekan Irawan dalam penerbitan majalah De Bevrijding, menjelaskan alasan dibalik sikap mahasiswa Indonesia yang berpihak kepada Verzet (orang-orang Belanda yang melawan pendudukan Nazi).

“Sebagai gerakan demokratis, demikian Soeripno, Perhimpunan Indonesia selalu melawan fasisme. Dan ketika sosialisme nasional menduduki Belanda, sebagai demokrat kami sadar merekalah musuh utama. Dengan melawan pasukan pendudukan kami makin punya kekuatan untuk memperjuangkan bangsa Indonesia,” tulis Joss, seperti dilansir dari Gatholoco.com.

Joss juga sempat mewawancarai C.J.M. Kramers (berumur 91 pada tahun 2016), lelaki sepuh yang kenal dengan Irawan Soejono. Pada saat itu, Kramers masih remaja belasan tahun yang ikut mengedarkan De Bevrijding. Menurutnya, Irawan adalah seorang pemuda yang menyenangkan. Ia menceritakan, Irawan pernah mengatakan padanya dengan tegas apabila perang usai, Indonesia harus merdeka.

“Kalian belum siap,” ucap Kramers membalas Irawan. Ucapan Kramers yang disesalinya di kemudian hari.

Lebih lanjut, Joss menulis, bersama Slamet Faiman, anggota PI yang lain, Irawan terlibat dalam penyelamatan anak-anak Yahudi di Belanda yang diburu oleh Tentara Nazi yang fasis nan rasis untuk dibawa ke kamp-kamp konsentrasi.

Kallenberg dalam ringkasan bukunya berjudul Irawan Soejono (1920-1945), setebal 12 halaman tersebut, menjelaskan bahwa Mimi Soetiasmi, kakak perempuan Irawan yang mengurus jenazahnya. 19 Januari 1945, Irawan dimakamkan di pemakaman Groenesteeg di Leiden. Namun tahun berikutnya, abunya dibawa ke Indonesia dan dimakamkan di Makam Tanah Kusir, Jakarta.

“Di distrik Amsterdam Osdorp, sejak 4 Mei 1990, telah diabadikan sebuah nama jalan Irawan Soejono. Ini merupakan jalan pertama yang diambil dari nama orang Indonesia sebagai pejuang perlawanan,” tulis Kallenberg, setelah diterjemahkan.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.