“Dan, hasilnya memang mengandung bahan berbahaya. Kami sudah susun laporan lengkapnya. Sudah kami serahkan ke pihak-pihak terkait pada 16 Oktober lalu sebagai dasar untuk melakukan penindakan, termasuk kepada industri yang menyediakan timbunan untuk warga itu,” jelasnya.
Sebagai pemasok bahan baku, pihak Jasa Tirta I juga telah menjalin komunikasi dengan PDAM Kabupaten Gresik. “Sudah. Kami telah berkoordinasi dengan PDAM Kabupaten Gresik, karena akan menjadi pihak terdampak jika timbunan tersebut merusak kualitas Sungai Marmoyo,” jelas Raymont.
Di sisi lain, kepastian PT GEI berada di bawah satu bendera dengan PT PRIA terungkap dari dokumen perusahaan yang kami peroleh. Tercatat di akta notaris pada 11 Februari 2019, perusahaan ini kemudian mendapat pengesahan Dirjen AHU Kemenkum HAM sepuluh hari kemudian.
Pada dokumen dengan nomor pengesahan AHU-0009366.AH.01.02 Tahun 2019 itu, tertulis berkedudukan di Kedungsari, Kecamatan Kemlagi. Kenyataannya, lokasi perusahaan saat ini berada di Desa Mojojajar, Kecamatan Kemlagi. Salah satu tujuan pendirian perusahaan adalah untuk mengumpulkan, mengolah dan juga memanfaatkan sampah/limbah berbahaya beracun.
Perusahaan ini memiliki 15 ribu lembar saham dengan jumlah modal disetor sebesar Rp 15 miliar. Tulus Widodo yang merupakan pemilik PT PRIA tercatat sebagai komisaris utama PT GEI dengan jumlah saham sebesar 11.250 lembar (senilai Rp 11.250.000.000).
Diantara para pendiri dan pemegang saham perusahaan, terdapat nama Syavana Tuliv Widodo. Pasalnya, pada dokumen tersebut, nama bersangkutan tercatat lahir pada 2009 silam. Itu berarti, baru berusia 10 tahun saat dirinya masuk sebagai pendiri PT GEI.
Informasi yang didapat, pemilik 3.450 lembar saham PT GEI ini merupakan putri sulung dari Tulus dari hasil perkawinannya dengan istrinya saat ini. Nama lain yang juga masuk dalam pengurus perusahaan adalah Chistine Dwi Arini, serta Fiqriyah yang masing-masing menjabat sebagai direktur dan komisaris. Keduanya merupakan istri dan keluarga dengan Tulus.
Selain dokumen perusahaan, dugaan bahwa PT GEI merupakan perusahaan pengolah limbah B3 terungkap dari penelusuran bersama Ecoton. Ketika itu, sebuah truk yang baru keluar dari PT PRIA bergerak menuju PT GEI. Kabarnya, sebagian material memang dibawa ke PT GEI karena PT PRIA yang overload.
Selain sisa pembakaran limbah B3, PT GEI yang tercatat belum mengantongi izin dari kemeterian KLHK perihal pemanfaatan limbah B3 itu juga diduga menyimpan lumpur (sludge) dari kerjasama dengan Caltex. Oleh mereka, material beracun itu ditumpuk begitu saja di area gudang PT GEI.
Ada tujuh bangunan yang kesemuanya penuh dengan gunungan material limbah. Saat reportase jelang akhir tahun lalu, bangunan dengan bentuk leter T itu terkesan ala kadarnya. Hanya ada tiang penyangga beserta atap yang terbuat dari aluminium foil. Sebagian bangunan masih terlihat terbuka tanpa dinding. Walhasil, gunungan material itu pun terlihat jelas dari jalanan.
Bukan hanya PT GEI. Investigasi yang dilakukan juga mendapati satu perusahaan lain yang masih satu grup dengan PT PRIA. Yakni, PT Lancar Abadi Indonesia (PT LAI). Dengan PT GEI, jaraknya sekitar 1 kilometer ke arah selatan. Tak jauh dari Kali Brantas.
Sama halnya dengan PT GEI, perusahaan yang juga baru mengantongi pengesahan dari Kemenkum HAM ini juga tercatat sebagai pengelola limbah B3 ini. Setali tiga uang, pabrik yang dilengkapi dua cerobong ini juga belum mengantongi izin pemanfaatan limbah B3 dari KLHK. Kami melakukan penelusuran di Pusat Perizinan Satu Atap KLHK dan tidak menemukan dokumen izin kedua perusahaan ini.