Kontroversi memang begitu lekat dengan PT. PRIA (Putra Restu Ibu Abadi) Grup. Belum juga usai konflik dengan warga Lakardowo, benih-benih konflik juga kembali ditabur grup perusahaan yang lain.
Oleh: Asad Asnawi
KALI ini, lokasinya di Desa Mojojajar, Kecamatan Kemlagi, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, sekitar 7 kilometer dari Lakardowo. Sama halnya dengan PT. PRIA, perusahaan yang terdaftar dengan nama PT. Green Environmental Indonesia atau disingkat PT GEI ini juga bergerak di bidang pengolah, sekaligus pemanfaatan limbah B3.
Baca: Satu Dasawarsa Melawan Limbah Berbahaya (1)
Baca juga: Satu Dasawarsa Melawan Limbah Berbahaya (2)
Secara resmi, perusahaan ini baru mendapat pengesahan dari Kemenkum HAM pada Februari 2019 lalu. Namun, menurut penuturan warga, aktivitas perusahaan ini sudah berlangsung sejak beberapa tahun sebelumnya.
Sama halnya ketika awal mengoperasikan PT PRIA, modus yang dipakai Tulus saat mendirikan PT GEI pun sama; sebagai perusahaan batako. “Soal apakah materialnya dari limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) tidak pernah disampaikan,” kata Budi Sutikno, tokoh masyarakat setempat.
Dampaknya pun bisa ditebak. Baru beberapa bulan beroperasi, perusahaan ini sudah menuai resistensi di kalangan warga. Apalagi, pada awal 2019 lalu, seorang bocah yang tengah bermain di sekitar area perusahaan sempat menjadi korban usai terperosok material dari dalam gudang yang tercecer keluar dan menderita luka bakar.
Resistensi itu pun semakin memuncak tatkala perusahaan ini melakukan pengurukan bantaran Kali Marmoyo yang merupakan anak Kali Brantas, Mojokerto pada tengah September 2019 lalu. Warga bergolak karena permintaan pengurukan dipenuhi dengan menimbun material limbah B3 di bantaran sungai itu.
Guna mencegah gejolak lebih panas, aparat kepolisian dari Polres Mojokerto bergerak sigap dengan menghentikan aksi pengurukan oleh PT GEI itu. Bahkan, oleh petugas, perusahaan yang belum lama berdiri itu juga dipasang garis polisi. “Kami nyatakan status quo sambil menunggu hasil penyelidikan lebih lanjut,” kata Kasatreskrim Polres Mojokerto Kota, AKP. Ade Juliawan Waroka, akhir 2019 lalu.
Dua bulan kemudian, garis polisi dilepas. Polisi berdalih pelepasan garis polisi itu lantaran tidak ditemukannya bukti yang cukup atas dugaan penimbunan B3 oleh PT GEI. Bahkan, perusahaan pun kembali beroperasi.
Tak pelak, langkah polisi itu pun memunculkan tanda tanya. Pasalnya, pihak Jasa Tirta I yang sebelumnya sempat melakukan uji lab terkait kandungan material timbunan belum pernah dipanggil guna didengar keterangannya.
Sebagai catatan, sebelumnya, pihak Jasa Tirta I memang ikut turun tangan merespons protes warga sebagai buntut pengurukan tanggul Kali Marmoyo itu. Perusahaan pelat merah ini mengambil sampel tanah urukan yang diduga menggunakan material limbah B3 itu.
Pihak Jasa Tirta I memang layak bereaksi. Selama ini, aliran sungai tersebut digunakan Jasa Tirta I untuk memasok bahan baku kepada PDAM Gresik. Karena itu, dugaan penggunaan material B3 oleh PT GEI sebagai tanah urukan tanggul dikhawatirkan mencemari aliran sungai.
Raymont Valiant, Direktur Utama Perum Jasa Tirta I mengungkapkan, dari hasil pemeriksaan uji sampel yang dilakukan, diketahui bila material timbunan merupakan fly ash dan bottom ash (FABA) yang selama ini masuk kategori B3.
Hal itu dibuktikan dengan hasil uji TCLP (Toxity Characteristic Leaching Procedure) terhadap sampel tanah urukan sebagai dasar untuk menentukan tindakan lebih lanjut. Menurut Raymont, uji TCPL memang menjadi prosedur untuk mengetahui kandungan racun sebuah materi.