Baik PT PRIA (Putra Restu Ibu Abadi) maupun BLH Jatim mengelak adanya dugaan pelanggaran lingkungan oleh perusahaan. Akan tetapi, penuturan warga dan sejumlah mantan karyawan mengatakan lain.
Oleh: Asad Asnawi
KENDATI penuh kejanggalan, audit lingkungan yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjadi bamper tidak adanya pelanggaran lingkungan oleh PT. PRIA (Putra Restu Ibu Abadi). Pun demikian, kesimpulan dalam audit bertolakbelakang dengan penuturan warga dan sejumlah mantan karyawan.
Baca: Satu Dasawarsa Melawan Limbah Berbahaya (1)
Sarpan, 33, eks karyawan bagian maintenance mengatakan, sejak awal, perusahaan yang berdiri tahun 2010 itu tidak beres. Awal berkegiatan, PT PRIA lebih banyak membakar limbah medis yang diperolehnya di area perusahaan. Apalagi, saat itu, perusahaan memang belum punya insinerator.
“Ya dibakar di lahan kosong yang sudah dibuatkan lubang. Kan dulu belum ada insineratornya,” katanya, Juni lalu. Bagaimana dengan limbah cair? Menurut Sarpan, perlakuannya sama saja. Meski ada bangunan IPAL (Instalasi Pengolah Air dan Limbah), menurut Sarpan, konstruksinya tidak standar karena tanpa landasan beton.
Sekitar tiga tahun bekerja disana, Sarpan tahu betul bagaimana fasilitas itu dibangun. Menurut ceritanya, IPAL yang dibangun dengan kedalaman mencapai 20 meter itu tidak dilengkapi pelapis bawah hingga memungkinkan merembes ke tanah.
Alasan itu pula yang membuat perusahaan ini terkesan tidak pernah membatasi volume limbah cair yang masuk. “Tidak ada (lapisan). Langsung ke tanah. Jadi, limbah cair berapapun ya masuk aja,” terangnya. Bahkan, jika ada kiriman limbah cair yang datang dan kesulitan mengolahnya, oleh perusahaan, biasanya langsung ditumpahkan begitu saja ke hamparan tanah.
Cerita yang sama juga datang dari Mansur, 29, warga Lakardowo lainnya yang sebelumnya sempat menjadi sopir PT PRIA. Saat itu, salah satu tugasnya adalah mengambil limbah B3 dari sejumlah perusahaan untuk diolah menjadi batako di pabrik tempatnya bekerja.
Terkait tudingan penimbunan limbah di area perusahaan, Mansur tak mengelak. Terutama untuk limbah medis. Biasanya, saat malam hari, limbah-limbah tersebut ditimbun di kubangan tanah yang telah digali siang sebelumnya dengan menggunakan alat berat. Bahkan, ia pun acapkali diminta kerja lembur untuk membantu menimbunnya.
“Pagi hari saya mensuplai bahan baku limbah untuk dijadikan batako dan kertas. Sedangkan saat lembur malam, tugas saya mengambil limbah medis untuk dibawa ke lubang yang telah digali siang sebelumnya untuk ditimbun. Setelah limbah medis masuk, dibakar baru ditutup dengan tanah hasil penggalian sebelumnya,” jelas Mansur dalam kesaksiannya di pengadilan, Februari 2020 silam.
Mansur sendiri sebelumnya dihadirkan sebagai saksi oleh warga atas gugatan yang diajukan warga terhadap PT. PRIA. Dalam gugatan yang terdaftar dengan Nomor: 4/Pdt.G/LH/2020/PN.Mjk., itu, warga menuntut PT. PRIA meminta maaf atas penimbunan material limbah.
Penuturan yang sama datang dari Sutama, 43, usai mendapat cerita dari kakaknya, yang bekerja di PT PRIA. Awal beroperasi, perusahaan banyak menggali lubang di dalam area pabrik. Di lubang-lubang galian itulah material limbah banyak ditimbun.
Bukan hanya di area pabrik. Dalam praktiknya, perusahaan ini juga menjual material limbah beracun kepada warga sekitar. Oleh warga, limbah-limbah itu kemudian dimanfaatkan sebagai pengganti tanah urukan.
Ada banyak alasan yang menjadikan warga nekat membeli bahan beracun itu. Selain lebih murah, mereka juga tidak pernah tahu bila bahan yang ditimbun di rumah mereka merupakan material B3. “Lebih murah, Rp 150 ribu satu dump truk-nya,” ujar Ngatipan, 50, warga setempat.