Terpisah, ahli epidemologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Athoillah Isfandiari mengatakan, banyaknya warga Lakardowo yang mengalami sakit kulit seharusnya cukup menjadi landasan pemerintah untuk menetapkannya sebagai kejadian luar biasa (KLB). Lebih dari itu, pemerintah juga dinilai perlu melakukan kajian mendalam terkait dugaan pencemaran disana.
“Saya kira itu jumlah yang sangat banyak ya. Dan seharusnya pemerintah bisa membuat kajian epidemologinya untuk mengetahui lebih jauh apa yang terjadi disana,” kata Atho. Hasil kajian epidemologi itu pula yang menjadi dasar penentuan kebijakan di Lakardowo.
Karena itu, Atho pun enggan buru-buru menyimpulkan bahwa sakit gatal-gatal yang dialami ratusan warga setempat merupakan scabies. Menurutnya, penentuan itu hanya bisa dilakukan setelah dilakukan pemeriksaan kultur jaringan pasien.
Ia melanjutkan, dalam banyak kasus, scabies yang terjadi akan berhenti setelah dilakukan terapi. Kenyataannya, banyak warga yang mengalami gatal-gatal menahun hingga memaksanya terus mengkonsumsi obat-obatan.
“Bisa jadi juga karena dermatitis kontak. Artinya, penyakit itu datang akibat alergi dari kontak terhadap zat-zat atau bahan kimia. Karena kan penyakitnya terus menahun dan tidak sembuh-sembuh. Makanya, kajian menyeluruh itu yang diperlukan,” jelas Atho. (Bersambung)
Catatan: Liputan ini didukung Earth Journalism Network (EJN) yang berbasis di London, Inggris. Artikel ini juga tayang di Mongabay.id dengan judul Nasib Warga Lakardowo Satu Dasawarsa Hidup dengan Limbah.