Di PT. PRIA, limbah medis itu kemudian dimasukkan insinerator guna dimusnahkan. Selanjutnya, abu sisa pembakaran dikirim ke lokasi penimbunan (landfill) milik PT. Prasadha Pamunah Limbah Industri (PPLI) di Cileungsi, Jawa Barat. Alasan pengiriman itu karena PT. PRIA tak punya izin penimbunan.
Melalui Rudy pula, pihak perusahaan membantah tudingan adanya pencemaran oleh PT. PRIA. Rudy menyebut persoalan itu sudah selesai seiring tuntasnya audit lingkungan oleh KLHK pada 2018. Beberapa rekomendasi oleh KLHK juga diklaimnya telah dijalankan.
“Menurut kami sudah selesai. Kami sudah melakukan semua proses yang direkomendasikan. Kita hidup di negara hukum. Ketika semua tahapan hukum sudah dilakukan dan tidak terbukti PRIA melanggar, bagi kami sudah selesai,” terang Rudy.
Audit oleh KLHK sebenarnya menghasilkan sejumlah temuan dan rekomendasi. Salah satunya, terkait kandungan dioksin dan furan dari asap pembakaran yang belum dilakukan pemeriksaan sama sekali. Atas temuan itu, Rudy mengklaim telah melakukannya. Begitu juga uji emisi. Karena itu, ia pun meminta para pihak yang masih berkeberatan dengan aktivitas PT PRIA, melengkapi data yang akurat. Tidak asal, guna menghindari debat panjang.
Direktur Ecoton, sebuah badan nirlaba yang bergerak di bidang konservasi lahan basah dan restorasi sungai, Prigi Arisandi mengakui, sebelumnya KLHK memang telah mengaudit PT. PRIA. Akan tetapi, hasil audit dinilainya menyisakan kejanggalan karena tidak mencerminkan temuan saat proses audit berlangsung.
Sebagai contoh, penggunaan mesin insinerator yang saat audit dilakukan ternyata suhu ruang bakar tidak sesuai ketentuan. Terutama pada insinerator 1 yang hanya mencapai 66,16 persen.
Dijelaskan Prigi, kesesuaian suhu menjadi faktor penting untuk memastikan matinya kuman dan juga zat berbahaya. Sebaliknya, suhu bakar yang tidak sesuai akan memunculkan senyawa negatif akibat pembakaran yang tak sempurna.
Merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 101 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3 Pasal 107, dinyatakan bahwa penghacuran limbah B3 yang berpotensi menghasilkan dioxin atau furan harus memiliki efisiensi minimal 99, 99 persen.
Ketentuan ini pun dipertegas dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 56 Tahun 2015 tentang Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah B3 dari Fasilitas Layanan Kesehatan (Fasyankes). Pada pasal 22 disebutkan, pengolahan limbah medis dengan menggunakan insinerator harus memiliki efisiensi 99,9 persen. Artinya, dalam satu ton limbah, abu sisa tidak boleh lebih dari 1 kilogram. Karena itulah, suhu bakar ruang utama minimal 800 derajat celcius. Dan, suhu bakar kedua, 1.200 derajat celcius.
Akan tetapi, aturan ini tidak dipatuhi PT. PRIA. Hal itu terlihat dari bibir cerobong yang kerap mengeluarkan asap hitam. Dan, asap inilah yang berpotensi memunculkan residu dengan senyawa berbahaya di dalamnya.
Audit oleh KLHK terhadap kualitas udara ambient memang menyatakan kualitas udara di sekitar perusahaan tidak memenuhi baku mutu. Bahkan, timbal sekitar 80, 35 persen tidak memenuhi baku mutu. Dan, yang paling penting, pola sebarannya berkaitan dengan arah angin, sesuai dengan pola sebaran penyakit kulit non biologis yang dialami warga.
Selain itu, PT PRIA juga diketahui belum melakukan uji kandungan dioksin dan furan, dua senyawa kimia yang timbul akibat dari pembakaran. Bahkan, kandungan fluoride, chloride dan sulphate cukup tinggi ditemukan pada airscrubber insenerator.